Liburan Bersama The Corrs di Indonesia!

Shabrina Farha Nisa
Chapter #3

Pijat Istana dan Misteri Klepon Antimeledak

Mentari pagi Jakarta bersinar cerah, namun bagi kuartet Corr bersaudara, dunia masih terasa sedikit miring. Efek jetlag yang dikombinasikan dengan euforia keputusan liburan sebulan dadakan semalam membuat mereka bangun dengan perasaan campur aduk antara semangat petualangan dan keinginan untuk kembali menarik selimut tebal di kamar tamu Istana yang super nyaman. Hari kedua ini, Nisa dan Reza sengaja merancang jadwal yang sangat ringan, sebuah "Hari Aklimatisasi Penuh Tanda Tanya," di mana fokus utamanya adalah relaksasi dan pengenalan lebih lanjut pada keajaiban (dan keanehan) Indonesia dalam dosis kecil.

Agenda pagi yang paling ditunggu (sekaligus sedikit ditakuti oleh Andrea) adalah sesi Pijat Tradisional Istana. Setelah sarapan bubur ayam yang sukses membuat Caroline ketagihan ("Ini seperti porridge tapi versi gurih dan penuh taburan yang fun banget! Kenapa di Irlandia nggak ada bubur begini?") dan Jim bertanya apakah ayam yang dipakai adalah ayam organik yang dibesarkan dengan mendengarkan musik klasik, mereka diantar oleh Reza menuju sebuah pendopo kayu berukir indah di sudut taman Istana yang rindang.

Berbeda dengan spa mewah di hotel bintang lima, pendopo ini memancarkan aura ketenangan yang otentik. Lantainya terbuat dari tegel kuno yang dingin, angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga melati dari taman, dan suara gemericik air dari kolam kecil di dekatnya terdengar menenangkan. Empat dipan pijat kayu sederhana namun kokoh sudah tertata rapi, masing-masing dilapisi kain batik halus. Di samping setiap dipan, empat wanita paruh baya dengan senyum keibuan dan pakaian kebaya sederhana sudah menunggu. Mereka adalah terapis pijat senior Istana, yang konon katanya jari-jemari mereka punya "kekuatan magis" untuk melenyapkan segala jenis pegal linu, dari level menteri yang stres karena rapat anggaran hingga level Paspampres yang kaku karena terlalu lama berdiri tegak.

"Ini... tempatnya indah sekali," bisik Sharon pada Andrea, mengagumi suasana pendopo. "Tapi terapisnya kelihatan... kuat-kuat ya? Jangan-jangan benar kata Andrea soal adegan patah tulang?"

Andrea sendiri sudah memasang kuda-kuda waspada. "Aku sudah riset semalam," bisiknya balik. "Katanya ada teknik pijat 'kretek-kretek'. Aku tidak mau bunyi 'kretek' dari tulangku!"

Reza yang mendengar bisik-bisik itu hanya tersenyum geli. "Tenang saja, The Corrs. Ibu-ibu ini sangat profesional dan lembut. Pijat Istana ini lebih ke arah relaksasi dan melancarkan peredaran darah, kok. Tidak ada adegan smackdown."

Dengan sedikit keraguan (kecuali Caroline yang tampak paling santai), mereka pun mulai berganti pakaian dengan kain batik khusus pijat dan merebahkan diri di dipan masing-masing. Aroma minyak kelapa hangat yang dicampur rempah-rempah seperti serai dan cengkeh mulai tercium.

Sesi pijat dimulai. Para terapis bekerja dalam diam, tangan mereka bergerak dengan mantap, terampil, dan berenergi. Caroline, seperti yang sudah diduga, langsung tertidur pulas dalam sepuluh menit pertama, dengkuran halusnya menjadi soundtrack tambahan di pendopo itu. Sharon, yang memang suka dipijat, tampak begitu menikmati setiap tekanan, sesekali ia bergumam keenakan dalam bahasa Irlandia, membuat terapisnya sedikit bingung tapi tetap tersenyum.

Jim, sang filsuf, awalnya mencoba menganalisis. Ia merasakan tekanan di titik-titik tertentu dan mencoba menghubungkannya dengan peta akupresur yang pernah ia lihat di sebuah buku. Hmm, ini titik meridian ginjal... tekanan di sini seharusnya mempengaruhi energi 'chi' air dalam tubuhku... tapi kenapa aku malah merasa sedikit mengantuk ya? Begitu kira-kira isi kepalanya yang rumit. Namun, setelah setengah jam, kerutan di dahinya perlahan menghilang, tergantikan oleh ekspresi bingung antara pencerahan fisik dan kebingungan filosofis. Ia tampak lebih rileks, meskipun matanya masih sesekali terbuka, mengamati langit-langit pendopo seolah mencari jawaban di sana.

Lalu, ada Andrea. Sesi pijatnya adalah sebuah pertunjukan tersendiri. Setiap kali jari terapis bergerak ke area yang agak sensitif seperti pinggang atau telapak kaki, ia akan menjerit kecil tertahan, lalu tertawa geli tak terkendali.

Lihat selengkapnya