Keesokan paginya setelah malam kejutan ulang tahun Presiden Nisa yang epik dan keputusan liburan sebulan yang super dadakan itu, suasana di paviliun pribadi Istana terasa seperti... yah, seperti ada empat bintang rock internasional yang baru saja crash landing dari Dublin dan belum sepenuhnya sadar di mana mereka berada.
The Corrs, yang secara teknis "tidak pernah benar-benar meninggalkan Indonesia" sejak konser kejutan itu (karena Nisa langsung "mengamankan" mereka dengan alasan "aklimatisasi sebelum tur Nusantara"), terbangun dengan kombinasi antara jetlag yang masih tersisa, sedikit pusing karena terlalu banyak tertawa semalam, dan rasa tidak percaya bahwa mereka benar-benar akan menghabiskan sebulan penuh di negeri tropis ini bersama seorang Presiden.
Andrea adalah yang pertama muncul di ruang makan paviliun, rambutnya masih acak-acakan menggemaskan, mengenakan piyama sutra yang mungkin harganya lebih mahal dari APBD kabupaten kecil, dan kacamata baca bertengger di hidungnya. Matanya menyipit melihat Nisa yang sudah rapi dengan setelan kasual dan secangkir teh melati di tangan.
"Pagi, Andrea! Atau... selamat siang waktu Dublin?" sapa Nisa ramah.
Andrea menguap lebar. "Oh, Madam President... Nisa... pagi. Kurasa otakku masih tertinggal di atas pesawat. Ini nyata, kan? Kita nggak lagi mimpi bakal diajak keliling Indonesia sama Presiden?"
Nisa tertawa lepas. "Sangat nyata, Andrea. Dan panggil saja Nisa. Anggap saja aku tour guide kalian yang paling VVIP sekaligus paling... yah, paling sibuk mungkin."