Sudah lima tahun sejak kematiannya, dan air mata masih saja jatuh membasahi gundukan tanah ini. Tidak berhenti menatapnya dengan penuh penyesalan, seolah waktu tidak pernah bergerak maju setelah kepergiannya. Kembali ku seka air mata, setelah meletakkan seikat lily putih diatas peristirahatan terakhirnya.
"Aluna," bisikku seakan angin membawanya mendengar. "Aku menamai anakku Gemini. Berharap suatu saat nanti dia bisa mengikuti jejakmu sebagai penulis berbakat," ku kenalkan anak laki-lakiku yang baru berusia dua bulan itu kepadanya.
"Sekarang aku sudah berkeluarga dan sedang menata karirku sebagai sutradara. Ini satu-satunya caraku untuk mewujudkan impianmu," pandanganku tidak lepas dari batu nisan yang bertuliskan namanya. Sementara dadaku semakin terasa sesak, seolah penuh dengan sesal.
"Jangan khawatir, cerita kita pasti akan jadi film yang istimewa nantinya," kataku yang berusaha meyakinkan diriku sendiri. Aku terus mengoceh seolah bercerita kepadanya.
Langit mulai menunjukkan sisi kemerahannya. Setelah dirasa cukup, aku kembali berdiri dan dengan satu langkah mundur, aku menata jas hitam yang ku kenakan, mengancingkan rapat harapanku dengan keteguhan. Kemudian, dengan berat hati meninggalkan gundukan tanah itu, untuk segera pulang.
Raihananda Ghifari, itulah nama pria pengecut yang tidak pernah mengutarakan perasaannya dengan jelas pada cinta pertamanya. Dibalik rasa sakit aku terus sembunyi. Tidak pernah berhenti menyakiti hatinya, meskipun aku tau bahwa itu bukan salahnya. Alih-alih mencari jalan untuk memperbaiki, aku justru menolak permintaan maafnya berkali-kali, dan terus mencari-cari kesalahannya agar bisa melepaskan diri dari permasalahan yang ku ciptakan sendiri.
Satu hal yang aku sadari, menyakiti hati perempuan baik sepertinya menjadi penyesalan terbesarku hingga saat ini. Sejak kepergiannya, aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan dan terjun ke dunia perfilman agar bisa menjadi sutradara yang hebat. Selain memang sejalan dengan hobi, aku juga bertekad untuk mewujudkan impiannya yang belum sempat tercapai, yaitu mengabadikan kisah kami dalam sebuah karya yang dapat memberikan kesan berarti bagi banyak orang.
Aku mungkin tidak bisa menjadikan cerita itu ke dalam bentuk buku, tapi aku berjanji akan menyajikannya dalam bentuk film agar lebih nyata untuk dirasakan oleh para penikmatnya. Hanya ini yang aku bisa lakukan, untuk membayar semua rasa sakit yang telah aku berikan di semasa hidupnya.
Meskipun diriku sudah berkeluarga, tapi aku tetap menjadikan Aluna sebagai cinta pertamaku yang istimewa. Selalu ada tempat sendiri dihatiku, untuknya. Masih teringat olehku, seberapa terpukulnya aku saat mengetahui kabar duka atas kepergiannya.
***