Dear Rehan,
Aku percaya bahwa setiap cinta pertama itu punya kesannya tersendiri, dimana kenangannya sulit dilupakan.
Kamu lah laki-laki pertama yang membuatku merasakan apa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Kamu bisa membuatku bahagia tanpa alasan dan rasa itu mengalir dengan sendirinya, hingga membuatku sulit untuk melupakan setiap detik tentang kita.
Saat itu, kita berdua mungkin masih terlalu muda untuk menentukan keputusan. Andai kamu tau, hingga saat ini semua kenangan masih tinggal di benakku dengan jelas.
Terlepas dari ketidakjelasan hubungan kita di masa lalu, aku selalu menjadikanmu sebagai cinta pertamaku yang mengesankan. Aku tidak pernah menyesal karena telah mengenalmu, bahkan jika kamu mengusirku sekali lagi dari kehidupanmu.
Kini, biarkan aku mengabadikan tentangmu di setiap karyaku,
-Aluna-
Surat ini ditemukan satu tahun tepat setelah kepergian Aluna. Mondy yang kala itu sedang membenahi barang-barang sahabatnya yang tersisa, menemukan secarik kertas yang terselip di salah satu novel karya Aluna. Meskipun telah pergi, ternyata Aluna meninggalkan jejak yang mendalam bagi mereka yang mencintainya. Setelah mengetahui isinya, laki-laki itu pun menyerahkan surat itu padaku, bersamaan dengan sebuah novel yang masih ku simpan sampai saat ini. Dia mengatakan bahwa bagaimana pun juga aku berhak untuk menyimpannya.
Tulisan tangan Aluna yang indah dan elegan, serta rasa yang ia tuangkan dalam setiap katanya mampu menumpahkan air mata tiap kali aku membaca surat ini setelah pulang dari makamnya.
Aku terduduk diam di depan meja kerjaku. Setelah bertahun-tahun menyelesaikan studi dan mengurus berbagai proyek, ku rasa ini waktu yang tepat untuk memberanikan diri melihat isi novel dan flashdisk yang pernah Mondy berikan padaku saat itu.
Hanya dengan menatap halaman depan novelnya saja, aku sudah gemetar hebat. Keterasingan itu seakan menyentuhku kembali. Buku yang tebal ini bukan hanya sekedar novel, tapi juga cerminan setiap perasaan Aluna untukku.
‘Aku sudah memutuskan untuk tetap tidak menghapus namanya dari lembar itu. Tidak ada satu hari pun aku melupakan perasaanku, saat pertama kali aku mulai jatuh cinta padanya. Meskipun waktu sudah sangat lama berlalu dan begitu banyak hal yang berubah, tapi lembaran itu masih tetap sama dan selalu menjadi kenangan indah yang akan terus aku simpan sampai kapan pun.’
Baru membaca bait pertama saja sudah nyeri. Kata-katanya begitu tajam bagai belati yang mengiris hati tanpa permisi. Membacanya seakan menuntunku kembali ke masa lalu dan menyesali apa yang sudah berlalu.
Ini novel pertama Aluna. Setiap helai kertasnya mengisahkan kronologi rasa yang kami lewati berdua. Dari tawa yang menghujam kebahagiaan, hingga air mata yang membasahi kekosongan.
Kemudian, laci meja yang menampakkan perangkat penyimpanan berukuran kecil di dalamnya, membuatku segera mengambil benda itu dan memasukkannya ke port USB.
Jari-jemari mulai mengetuk-ngetuk tak sabar, mengisi lembar kosong yang telah terbuka, dan di sinilah aku. Terikat oleh meja kerja, menatap layar dan mengadaptasi file yang berisikan kisah dengan segala kenangan di dalamnya. Proses pembuatan film pertamaku baru saja dimulai. Semangatku menyala bagai api yang berkobar, seiring dengan visi menghidupkan naskah novel Aluna ke layar lebar.
Setiap kata yang tercipta dari setiap ketikan, menyadarkanku akan harapannya yang patut untuk ditunjukkan kepada dunia, betapa berharganya cinta dan pengorbanan yang telah dilakukannya.
Aku mulai mengubah naskah novel Aluna menjadi skenario. Berpikir untuk menyelesaikan skrip ini secepatnya, karena aku juga harus menyiapkan hal penting lainnya yang akan diperlukan dalam proses pembuatan film ini. Belum lagi aku harus menemukan PH (Production House), yang bisa memberikanku investasi untuk bisa memproduksi film pertamaku ini. Hasilnya tentu harus memuaskan, jadi aku ingin semua dilakukan dengan maksimal.
‘Kita punya cinta, tapi semesta punya takdir’ salah satu kalimat yang tertulis disana, membuatku kembali menitikkan air mata.
Aku kembali mengetik kalimat berikutnya, “Pada akhirnya, kamu dan aku hanya akan menjadi kenangan.”
Ku hapus lagi kalimat itu untuk ketiga kalinya.
“Pada akhirnya, semua hanya akan menjadi kenangan bagi setiap orang,” ketikku lagi yang masih mencoba untuk melanjutkannya.
“...”
Jari-jemariku seketika terhenti, untuk sejenak berpikir. Lalu, kembali melanjutkan tulisanku dengan air mata yang sesekali mengalir tanpa ku sadari. Di iringi suara istriku yang mencoba meredakan tangisan Gemini sedaritadi.
Tulisan Aluna sangat indah, terlebih dengan rasa yang ia sampaikan di dalamnya yang mampu membuat setiap orang terenyuh. Dia memang berbakat sebagai penulis, tidak salah jika hampir semua tulisannya menyandang gelar best seller. Karya-karyanya dapat mengesankan banyak orang dan kepergiannya pun meninggalkan bekas bagi para penikmat karyanya.
“Mas, kamu belum mau tidur?” Suara lembut itu mengetuk telingaku dengan sopan. Sosok bidadari datang menghampiriku. Kedua tangannya meraih sisi-sisi bahuku yang kaku.
“Sebentar lagi ya, sayang. Kamu bisa tidur duluan kalau ngantuk.”