LIFE AFTER SHE LEFT

Gemini QT
Chapter #3

Segala Tentangnya

Di kafe kecil yang hangat, aroma kopi dan roti panggang menguar menyegarkan suasana. Kami duduk di sudut yang tenang, jauh dari keramaian. Pertama kali menghembuskan napas lega, aku berusaha meredakan ketegangan di tubuhku.

"Ini kafe favorit Aluna. Gua sama dia sering banget ngabisin waktu di sini, sebelum dia sibuk sama kerjaan kantornya." Mondy tersenyum, menatap secangkir kopi yang ada digenggamannya. "Dia yang pertama kali nemuin tempat ini, waktu dia mulai nulis naskah novel pertamanya."

Kafe kecil ini memang memiliki daya tarik tersendiri. Dindingnya dicat dengan warna hangat, dan lampu-lampu redup membuat suasana semakin intim. Aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang renyah menciptakan kenyamanan. Suara riuh dari pengunjung lain terasa jauh, seolah-olah kami berada di dunia berbeda, di luar waktu.

"Kadang, gua ngerasa kalau keputusan yang gua ambil itu salah," kataku pelan, mengabaikan ucapannya.

Mondy menatapku penuh makna, "Maksud lu, ngusir Aluna dari kehidupan lu?" tanyanya mempertegas kata-kataku dengan suara lembut, namun sedikit terasa sarkas. Matanya mencoba menggali lebih dalam ke dalam jiwaku, seolah-olah ingin memastikan bahwa aku benar-benar siap dengan konsekuensi dari pengakuanku saat ini.

Aku mengangguk, seolah menggaruk luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Momen itu terbayang kembali dalam ingatan. kenangan yang kami bagikan, kini hanya sebuah fragmen dalam pikiran.

"Bisa ceritain sedikit tentang Aluna?" tanyaku pada Mondy, berusaha mengalihkan perhatian dari kesakitan yang kini kembali aku rasakan.

Mondy terdiam sejenak. Kemudian tersenyum, seolah mengenang setiap detail dari sosok sahabatnya itu. “Aluna sebenernya orang yang ekspresif, tapi gak ke semua orang,” ucapnya, mengawali cerita dengan tenang. “Dia tuh cewek yang pinter, bahkan skripsi gua aja dia yang bantu kerjain,” aku melebarkan senyuman, ketika melihat senyumnya merekah, mengenang momen-momennya bersama Aluna.

“Dia itu cengeng, manja kalau sama keluarganya. Makanya, gua suka banget godain dia sampe ngambek,” ada desah tawa kecil yang meluncur dari bibirnya. “Gua sama Aluna tuh suka banget berantem dari kecil, udah kayak Tom & Jerry. Tapi, ya begitulah love language kita,” jelasnya, dan dalam matanya, aku bisa melihat betapa banyak kenangan indah yang terpendam dalam ingatannya.

Aku terus memperhatikan Mondy, yang masih antusias dalam menceritakan Aluna. Wajahnya bersinar, seolah setiap kata yang keluar dari bibirnya melukis gambaran indah tentang seorang gadis yang sangat berarti dalam hidupnya. Menurutku, Mondy sosok yang tidak pernah ragu untuk menunjukkan perasaannya, terutama saat ia sedang membahas Aluna.

“Terus ya, dia itu bawel! Suka banget ceramah kalau gua ngelakuin ini itu demi dia," pria itu terus mengoceh, seakan menggerutu. "Gua rajin nge-gym, latihan tinju, semua gua lakuin demi bisa ngelindungin dia. Gua gak mau ada yang nyakitin dia."

Memang, dengan ia melepas luaran kemejanya saat ini, sudah memperlihatkan jelas bentuk tubuhnya yang atletis. Singlet hitam yang sepertinya menjadi outfit favoritnya, berhasil menonjolkan lekuk-lekuk dari lengan kekarnya. Bahkan punggung tangannya pun nampak berurat, ketika ia sedang memegang es kopinya. Sekarang tubuhnya jauh lebih berisi dan berbentuk, dibandingkan saat aku bertemu dengannya terakhir kali, beberapa tahun yang lalu. Kulitnya juga terlihat lebih cerah terurus, dari sebelumnya.

Begitu kontras dengan diriku, yang semakin hari semakin berisi lemak di perut. Ya, meskipun tubuhku masih terbilang cukup bagus dan proporsional.

Saat aku kembali fokus pada ceritanya, mendadak ekspresinya mulai berubah. Ia terdiam, seolah mengingat sesuatu yang sangat berarti. "Tapi...," suaranya terhenti sejenak, "Dia pernah bilang, kalau gua itu harus punya waktu buat diri gua sendiri," tambahnya. “Dia sama sekali gak suka sama yang namanya kekerasan. Bahkan, dia paling kesel kalau liat gua memar tiap kali selesai latihan tinju."

Aku bisa mendengar kehangatan dalam suaranya, saat dia mengenang pesan-pesan yang Aluna tinggalkan dalam hidupnya. Ada sebuah rasa rindu yang terkurung di dalam hatinya, seolah Aluna masih ada di dekatnya, mengawasi dan memberi nasihat kepadanya.

Mondy menundukkan kepala, seolah mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan ceritanya. Aku bisa merasakan ribuan kenangan berputar di pikirannya—momen-momen bahagianya bersama Aluna

"Mungkin, banyak orang yang ngeliat gua sama Aluna itu cuma sebatas sahabat. Tapi bagi gua, Aluna jauh lebih dari sekadar itu," kali ini tatapannya serius.

“Gua bahkan ngerasa kalau gua gak butuh pacar, karena gua udah punya Aluna,” sambungnya dengan suara yang pelan, namun tegas.

Aku membayangkan betapa berartinya Aluna di hidupnya. Persahabatan yang telah terjalin sebelum mereka lahir, seperti takdir yang telah ditentukan. Saat ini, aku bisa merasakan betapa kuatnya ikatan di antara mereka, meski di antara kenyataan dan kenangan. Dalam diam, aku merasakan kehangatan dari persahabatan yang tulus antara Mondy dan Aluna. Mungkin, kisah mereka adalah pengingat bahwa cinta tak selalu harus berujung pada romansa.

"Luna beruntung punya sahabat kayak lu," kataku, mencoba membuang rasa penyesalan yang kembali menggelayuti pikiranku.

Mondy menggelengkan kepala, “lu salah. Gua yang beruntung punya dia," tegasnya.

Lihat selengkapnya