LIFE AFTER SHE LEFT

Gemini QT
Chapter #4

Keputusan yang Menyakitkan

"Sampai kapan kamu mau terus-terusan mabok dan pulang pagi kayak gini, hah?!" Wanita paruh baya berteriak dengan penuh emosi, suaranya mencerminkan keputusasaannya.

"Berisik! Tugas istri itu hanya perlu urus anak! Gak usah kau ikut campur urusanku!" Balas sang suami, nada congkaknya, menambah kesedihan di dalam rumah.

Suara benturan barang memekakkan telinga, berhasil menembus katup jantung hingga mendengarkan irama yang tak beraturan. Pertikaian yang tak terelakkan, suara Mamah dan Papah yang bertabrakan, memecah keheningan. Ketenangan dihancurkan oleh ketegangan yang penuh tangisan dan juga jeritan. Pengkhianatan yang sering aku saksikan, akhirnya memuncak, memecah belah keharmonisan.

Ketegangan semakin melonjak, ketika Mamah berusaha menghalangi Papah untuk pergi. Wanita itu tidak menginginkan apa pun lebih dari keamanan dan kesatuan, tetapi Papah hanya tertawa sinis dan melangkahkan diri ke arah dapur. Hati kecilku bergetar, ketika mendengar suara gesekan logam dari sana. Kemudian, sosok menyeramkan itu kembali muncul dengan pisau di tangannya, wajah berkerut itu menampakkan kemarahan yang siap meledak. Kakakku, dengan cepat menyuruh aku untuk bersembunyi di dalam kamar. Setelah itu, aku tidak tau lagi apa yang terjadi diluar sana, hanya terkurung dalam bayang-bayang ketakutan dan ketidakpastian.

Beberapa saat telah berlalu, kekacauan mulai mereda, jeritan perlahan memudar, tergantikan dengan suara sirine polisi dan ambulans yang menggema. Apa yang telah terjadi?

Dalam kebingungan, aku merangkak keluar untuk melihat kekacauan yang terjadi. Jonjot darah mengalir di lantai, menciptakan gambaran mengerikan yang terukir tajam di dalam ingatan. Papah diringkus oleh polisi, dan Mamah tergeletak tak berdaya, dengan petugas medis disekelilingnya yang sibuk berusaha untuk menyelamatkannya. Sementara kakak, masih dengan posisi meringkukkan badannya, ia tampak bergetar ketakutan, dan terus menangis di sudut ruangan. Aku yang sama sekali tidak melihat kejadian itu, berulang kali mencoba mencerna apa yang sebenarnya tengah terjadi.

Suasana saat itu masih sangat jelas dalam ingatan. Hanya dalam sekejap, seluruh fondasi keluargaku hancur berantakan. Rumah yang dulunya penuh tawa telah lenyap, dan hanya menyisakan kesedihan juga keruntuhan. Dinding-dindingnya, yang pernah menyimpan kebahagiaan, telah menjadi saksi bisu dari tragedi yang tak terbayangkan.

Beberapa hari setelah kejadian itu, keheningan dan ketidakpastian menimpa pikiranku. Sejak itu, baru lah aku mulai menyadari tentang hancurnya keluargaku. Menghadapi kenyataan bahwa kehidupan yang pernah tampak utuh, sudah berubah menjadi puing-puing yang lusuh. Papah yang terkurung di balik jeruji besi, siap dieksekusi mati karena kesalahannya yang sudah merenggut nyawa Mamah, dan menyisakan kami — aku dan kakakku, Rafi — dalam kegelapan yang tak berujung.

Rafi, yang seharusnya jadi panutanku pun harus terjebak dalam depresi, berbagi ruangan dengan bayang-bayang kelam yang datang dan pergi, hingga merenggut senyum dan kebahagiaannya. Sementara aku, satu-satunya yang bertahan diantara reruntuhan sebuah keluarga, meski baru beranjak 12 Tahun, harus menjadi penopang di tengah kehampaan saat itu. Semua terjadi begitu saja, seperti badai yang datang tanpa peringatan, menghancurkan segalanya dalam sekejap hingga memporak-porandakan mentalku.

Itu lah hari ketika aku memutuskan untuk menghilang dari hadapan Aluna. Hancurnya keluargaku meluluhlantakkan semua harapanku untuk tetap bersama Aluna. Dengan terpaksa, aku harus membangun tembok untuk membatasi eratnya hubungan kami. Cinta ini tak mungkin ada di tengah puing-puing yang berserakan. Untuk menjaga Aluna, aku harus mengambil langkah yang paling menyakitkan, yaitu menjauh darinya.

Meninggalkan Aluna saat dia sedang tumbuh dalam kebahagiaan, adalah suatu hal yang paling mengerikan. Aluna, seolah mengingatkanku pada semua yang ingin ku pertahankan. Namun, bertahannya aku di sampingnya hanya akan menambah beban. Aku tau, jika dia berada di sampingku saat itu, ada kalanya semua rasa sakitku akan ku tumpahkan padanya.

Aku tau ia terluka, tapi aku meyakinkan diri bahwa jauh dariku adalah yang terbaik untuk dirinya. Ini lah satu-satunya jalan untuk melindunginya dari kehampaan yang kutemukan. Dinding yang terpaksa ku bangun, menciptakan jarak yang semakin dalam. Aku tak bisa membiarkan dia terjebak dalam kekacauan yang terjadi di hidupku.

***

Tanpa adanya sinyal dari semesta, aku yakin bahwa ia mencari-cari keberadaanku. Namun, dalam cengkeraman kesedihan yang mendalam, aku telah menutup akses untuk semua orang masuk ke dalam hancurnya kehidupanku saat itu. Terkecuali Alif, sebagai tetangga sekaligus teman baikku sejak kecil, hanya dia satu-satunya orang yang mengerti tanpa kata, merasakan setiap denyut kepedihan yang mengalir dalam diriku, dan mengetahui segala yang terjadi di hidupku. Aku memintanya untuk menjaga Aluna, meskipun aku tau ia tidak setuju dengan caraku menyimpan semua kepiluan ini dari perempuan yang aku cintai.

Namun, bagaimana pun aku lebih mengkhawatirkan keadaan Aluna, jika aku berada di dekatnya. Terkadang, aku merasa seperti bayangan diriku sendiri—ada, tapi tak terlihat. Seolah aku bersembunyi dari kemarahan semesta, bersembunyi dari dirinya yang selalu berusaha untuk mendekat.

Sementara di balik dinding yang ku bangun sendiri, sebenarnya aku pun selalu mencari tau tentang kabar Aluna. Dengan mengintip melalui media sosial, aku mencoba menjangkau dunianya, meski aku tau itu tidak seharusnya dilakukan. Tiap foto yang diunggahnya menembus dinding yang sudah ku bangun dengan susah payah, mengingatkan betapa kosongnya hidupku tanpa dirinya. Sakit memang, tapi itu lah pilihan yang aku pilih saat itu. Dalam hati ada rasa yang saling bertabrakan, antara kerinduan dan ketakutan yang mengurungku dalam bayangan kegelapan.

Lihat selengkapnya