Life Beyond the Lake

nebulae
Chapter #1

BAGIAN 1: Awal

Reese Oswald, gadis dengan rambut brunette sependek bahu tengah mengoleskan selai kacang pada selembar roti. Ia mengalihkan pandang pada arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, kemudian mengendikkan bahu. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum masuk sekolah.

“Olesan terakhir dan … yeah, selesai,” Reese menutup roti beroleskan selai kacang dengan satu lembar roti polos lainnya.

“Apakah kau akan langsung pergi ke sekolah?” Ibunya, Chinda, mendadak muncul dari belakangnya.

“Oh, astaga, kau mengagetkanku!” Reese mengelus-elus dada. “Dan … ya, aku akan langsung pergi, aku ingin belajar terlebih dahulu di kelas sebelum bel berbunyi,” kata Reese. Ia menggigit bagian ujung roti, lantas mengunyahnya. “Aku masih harus berjuang untuk hari terakhir ujian.”

Chinda menarik Reese ke dalam pelukannya. Tubuh tinggi semampai Reese sedikit menyulitkan Chinda, sehingga ia terpaksa berjinjit demi menyejajarkan tinggi badan mereka. “Semangat, Ibu yakin kau pasti bisa.”

 Reese tersenyum, kemudian membalas pelukan Chinda. Setelahnya, Reese langsung pamit dan berangkat menuju sekolah menggunakan sepeda. Beruntung sekali, jalanan komplek perumahannya tidak terlalu dipadati oleh tetangga-tetangga sebaya yang turut berangkat ke sekolah seperti hari-hari lalu. Mungkin hari ini Reese berangkat sedikit lebih pagi dari tetangga-tetangganya. Baguslah, jalanan lengang, ia dapat melajukan sepedanya secepat yang ia mau tanpa perlu mengkhawatirkan kemungkinan tertabraknya para pengguna jalan lain. Selain itu, suasana pagi hari mendadak terasa lebih menyenangkan. Cicitan burung terdengar lebih nyaring. Tidak ada percakapan antar manusia yang cukup merusak pagi hari. Matahari pun masih malu-malu menampakkan sinarnya.

Sepuluh menit kemudian, Reese sudah mengambil posisi duduk terdepan dengan buku fisika dalam genggamannya. Sebetulnya, ia sudah menyelesaikan seluruh latihan soal fisika sampai muak mengulang-ulangnya. Namun, ia tidak mau terlalu congkak. Siapa tahu dirinya mendadak melupakan rumus-rumus yang telah dipelajarinya semalaman penuh saat ujian berlangsung jika memilih bersantai-santai ria.

“Hei,” sapa seseorang.

Reese mendongakkan kepala untuk melihat siapa yang baru saja menyapanya. Oh, Lauren.

“Hei,” balas Reese.

Lauren bukanlah sahabatnya, hanya teman sekelas yang terkadang saling bertukar sapa dan beberapa kali menjadi partner makan di kantin tanpa mengucapkan sepatah pun kata, atau sekalinya berbicara hanya membicarakan hal-hal penting yang berkaitan dengan pelajaran atau isu dunia. Memang tidak mengherankan, Lauren adalah seorang jenius penyendiri dan tertutup yang tidak pernah bosan menempati peringkat satu paralel sekolah.

“Reeseeeee!” Seseorang menyahut dari ambang pintu kelas.

Reese hafal betul pemilik suara melengking tersebut. Siapa lagi kalau bukan Maisie, sahabatnya yang paling berisik seantero benua—tidak, namun sealam semesta?

“Maisie, ini masih pagi, jangan membuat gaduh,” Reese memutar bola matanya—dalam konteks bercanda.

Maisie terkekeh. “Maaf deh,” katanya. “Kau sudah mempelajari fisika, kan?”

Sepertinya, Reese tahu ke mana arah dibawanya percakapan ini. “Sudah. Kenapa bertanya?”

“Nanti lemparkan jawabannya kepadaku, ya, saat ujian? Oke? Blink, blink,” Maisie memeluk Reese dari belakang. Mengedip-ngedipkan sebelah matanya.

Reese mengangguk pasrah. Sebetulnya tidak hanya pada mata pelajaran fisika saja ia meminta jawaban, tetapi nyaris seluruh mata pelajaran tidak ada yang dikerjakannya dengan usaha sendiri. Bukan Maisie saja, dua sahabat lainnya, Esther dan Andrea, turut kerap meminta jawabannya pula. Kalau boleh jujur, Reese enggan memberikan jawaban, susah-susah ia belajar demi memperoleh nilai-nilai terbaik, nilai-nilai tersebut justru diperoleh sahabat-sahabatnya yang hanya bermodalkan sontekan. Tetapi biarlah, bukankah ini yang sahabat lakukan, saling tolong-menolong?

Atau … hanya Reese saja yang terlalu polos? Entahlah.

Tidak lama kemudian, Esther dan Andrea datang bersamaan. Begitu melihat Reese, mereka kompak berkata, “Blink, blink.”

Reese menutup buku fisikanya. Ia sudah selesai mengulang. “Ya, blink, blink.”

***

“Oh, aku merindukanmu kebebasan!” Maisie berteriak tanpa tahu malu, lantas menyodorkan kaleng minuman beralkoholnya kepada Esther dan Andrea. “Cheers!

Cheers!

Kemudian, Maisie, Esther, dan Andrea bersama-sama meneguk minuman beralkohol milik masing-masing. Sementara Reese, ia hanya tersenyum geli menatap tingkah laku sahabat-sahabatnya. Reese tidak ikut minum, Ibunya selalu melarang keras. Yah … walaupun sejujurnya Reese ingin sekali mencoba.

“Reese, mau tidak? Kan, kau yang telah menraktir kami,” Tawar Andrea. “Sekali-kali langgar ibumu, jangan terlalu menjadi anak ibu. Aku tahu kau ingin sekali merasakan sensasinya.”

Rahang Reese mengeras. Ia tidak suka dipanggil anak ibu. Tetapi, pendiriannya teguh. Ia menggeleng, lantas berkata, “Terima kasih.”

Andrea hanya mengendikkan bahu. “Ya, sudahlah,” kemudian, kembali melanjutkan aktivitas minum-minumnya.

Semuanya bermula tepat saat bel pulang sekolah berbunyi, pengingat habisnya waktu pengerjaan ujian sekaligus awal dari liburan musim panas. Maisie mengusulkan ide untuk merayakan kebebasan mereka dengan minum-minum. Tetapi, ia dan yang lainnya lupa membawa uang lebih sehingga perlu membujuk Reese untuk menraktir mereka. Reese sih oke-oke saja. Perwujudan rasa solidaritas, pikirnya.

Lalu, bagaimana bisa mereka membeli alkohol kalau mereka saja masih di bawah umur? Nah, semuanya telah diurus Maisie. Kartu ID palsu, misalnya. Hanya Reese yang tidak pernah diberikan kartu ID palsu oleh Maisie. Toh, buat apa? Reese tidak akan pernah pergi ke diskotik atau membeli alkohol jika tidak ingin dicoret dari kartu keluarga.

Reese melirik arloji. Sudah hampir petang rupanya. Satu lagi peraturan Chinda, Reese dilarang pulang melebihi batas waktu tengah hari, kecuali jika memiliki kepentingan mendesak. “Sepertinya aku harus pulang sekarang.”

“Kenapa cepat sekali? Kita bahkan belum karaoke-an,” Tanya Esther.

“Sudah hampir petang, kalian tahulah bagaimana ibuku.”

Lihat selengkapnya