Reese megap-megap mencari udara, tetapi nihil. Air mulai menguasai sistem pernapasannya. Sesaat ia merasa malaikat maut telah berdiri di hadapannya, bersiap-siap mencabut nyawanya, sebelum pada akhirnya tangan seseorang terjulur ke dalam air. Jari jemari Reese menggapai-gapai panik. Ia belum mau mati.
“Haaaahhh! Haaahhh!” Reese tersengal-sengal begitu kepalanya menyembul di permukaan, kemudian terbatuk hebat. Hampir saja ia disambut kematian. “Terima kasih banyak entah siapapun anda, kalau tidak ada anda, say—” Reese mendadak terdiam melihat siapa yang baru saja menolongnya. “Loh, Ibu?”
“Tentu saja ini Ibu! Kau kira siapa, hah?” Chinda melipat kedua tangannya di depan dada. Marah. “Bagaimana bisa kau tenggelam? Perasaan tadi Ibu menyuruhmu menunggu di samping Ibu.”
Reese tetap terdiam. Bukan itu yang membuatnya terheran-heran. Namun, cara berpakaian Ibunya yang sangat kuno agak mengejutkan Reese. Chinda biasa berpakaian modis, tetapi kini ia berpenampilan seperti orang miskin di dongeng-dongeng. Kemudian, Reese menatap sekeliling. Orang-orang berbisik-bisik, menggunjingnya aneh. Namun, seharusnya Reese yang merasa demikian, bagaimana bisa mereka berpakaian serupa dengan Chinda?
Tidak hanya cara berpakaian orang-orang yang membuat semua ini terasa janggal, tetapi rasanya waktu berlalu sangat cepat, terlalu cepat malah. Baru beberapa menit lalu ia menatap sebaran bintang di langit malam, sekarang matahari sudah menggantung tepat di atas kepala saja. Selain itu, bukankah ia tenggelam di danau? Lantas, mengapa pula saat ini ia muncul di sungai yang sama sekali tidak pernah ia kunjungi sebelumnya? Sungguh, segala-galanya terasa asing dan membingungkan.
Sebetulnya, di mana Reese?
“Kau sedang apa? Kenapa terus melamun? Cepat keluar dari sungai. Jangan mempermalukan Ibu,” Chinda menarik Reese secara paksa dari sungai.
“Ibu, kita sebetulnya sedang berada di mana? Mengapa kau berpakaian aneh?” Tanya Reese begitu dirinya telah sepenuhnya berada di daratan.
Chinda mengusap wajahnya. Tampak frustasi. “Kau bercanda? Kita sedang berada di Quanice, Q-U-A-N-I-C-E! Tempat bagi orang-orang miskin Candell, dan ya, itulah kita,” Chinda ketus menjawab. “Berpakaian aneh bagaimana? Ini pakaian yang telah ditentukan raja dan ratu, kau juga sedang memakainya.”
Seketika Reese beralih menatap dirinya sendiri. Chinda benar, Reese turut berpakaian serupa. Hoodie dan celana jeans-nya lenyap begitu saja, digantikan terusan kumal berwarna biru layaknya pakaian Upik Abu dalam dongeng Cinderella. Reese mencubit pipinya, lantas mengaduh pelan. Sakit, berarti bukan mimpi, pikir Reese.
“Sayang, kita telah kebagian jatah roti, ayo kita pul— woah, apa-apaan, Zabrina?” Ayahnya, Asher, buru-buru menghampiri Reese. “Kenapa bajumu basah semua? Kau habis bermain di sungai? Astaga, sudah bukan umurmu lagi, Zab.”
Reese mengernyitkan dahi. Sejak kapan pula namanya berubah? “Zabrina? Aku bukan Zabrina.”
“Lalu siapa? Masa iya kau kembarannya Zab?” Asher tertawa.
“Aku Re … Reez … Zabrina!” Reese buru-buru menutup mulutnya. Mulutnya mengucapkan nama Zabrina dengan sendirinya, walaupun sebetulnya ia hendak mengucapkan nama Reese. “Bukan! Maksudku Reez … zwa … Zabrina!” Ia melotot. Lagi-lagi, mulutnya menolak mengucapkan nama Reese. “Ree … Zabrina! Oh, astaga, mengapa begini?”
Kali ini, giliran Asher yang mengernyitkan dahi. “Iya, memang Zabrina, kan?”
“Sudahlah, kita tinggalkan saja dia. Sepertinya kepalanya habis terbentur bebatuan sungai. Biarkan dia pulang sendiri,” Chinda mendengus sebal. Ia lelah melihat tingkah laku Reese yang semakin tidak masuk akal.
Setelahnya, Chinda dan Asher betul-betul meninggalkan Reese sendirian di tepi sungai. Reese mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha mengabaikan semua kejanggalan. Sayangnya, terdampar di negeri antah berantah bukanlah sesuatu yang dapat diabaikan dengan sendirinya. Benaknya masih memproses seluruh kejadian. Matanya menjelajah setiap sudut wilayah sejauh mata memandang. Satu-satunya yang tidak asing adalah wajah para penduduk, rasanya ia pernah melihat mereka sebelumnya—tentunya di dunia nyata, bukan dunia asing ini.
Air mata menggenang di pelupuk mata Reese. Orang tuanya pergi meninggalkannya sendirian, sekarang ia tidak tahu harus melakukan apa dan pergi ke mana. Antrean warga yang sedang menunggu pembagian jatah roti dari seorang anak muda perlahan mulai berkurang. Ia menunggu antrean tersebut benar-benar selesai, kemudian ia akan menghampiri anak muda itu untuk dimintai bantuan karena tampaknya dia seumuran dengan Reese.
Tidak lama kemudian, antrean berakhir. Anak muda tersebut tampak sedang membereskan barang-barangnya, lalu dimasukkan ke dalam perahu kecil miliknya yang digunakan untuk menyeberang sungai. Reese mendadak ragu, anak muda tersebut kelihatan baik, tetapi rasanya tidak pantas memercayai orang yang baru saja ia temui. Wajahnya pun terlihat paling asing di antara yang lainnya. Ia mengenali wajah-wajah lain sebagai orang dari dunianya, tetapi tidak dengan anak muda itu. Aneh sekali.
Di saat Reese masih bergelut dengan pikirannya, anak muda itu justru menangkap sorot gelisah dari mata Reese yang membuatnya memutuskan untuk menghampiri Reese. Mungkin dia membutuhkan pertolongan seseorang, pikirnya.
“Hai,” sapa anak muda itu—yang tentu saja direspon oleh pelototan Reese.
“Eh … hai?” Reese gelagapan.
“Kau tampaknya gelisah. Mungkin ada yang bisa kubantu?” Tawarnya.