“Pegal sekali!” Reese menyeka peluh. Sungai yang harus mereka lewati terbilang lebar. Benar-benar dibutuhkan tenaga ekstra untuk mendayung menyeberanginya. Apalagi, ini pertama kalinya Reese menaiki perahu, masa langsung disuruh mendayung? Yang benar saja, Reese jelas tidak bisa. Bahkan, mereka sempat terhenti di tengah sungai karena Naval terpaksa mengajari Reese tata cara mendayung yang baik dan benar.
“Aku jelas lebih pegal, sebab selain mendayung, aku juga harus mengajarimu,” napas Naval tersengal-sengal.
Wajah Reese merengut. “Ya, maaf, lagian mengapa tidak kau sendiri saja yang mendayungnya?”
“Berat, Zab. Tidak kau saja yang harus kubawa, tetapi juga barang-barangku. Selain itu, akan dianggap tidak sopan di Candell bila kau menumpang perahu, tetapi tidak mau ikut mendayung,” Naval berhati-hati dalam pemilihan kata agar tidak menyinggung perasaan Reese. “Warga Kingsland yang cenderung berfoya-foya dan sombong juga masih mempertahankan etika dalam menumpang perahu.”
Seketika, Reese merasa bersalah. Kalimat yang telah diucapkannya terdengar sangat tidak menjunjung pepatah di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Ia terbiasa hidup bergelimang harta walaupun terlalu dikekang, terkadang lupa bagaimana harus beretika di tempat yang bukan menjadi asalnya. Sebenarnya, tanpa adanya aturan dalam beretika dari Candell pun, Reese memang seharusnya lebih tahu diri. Naval hanya meminta bantuannya untuk bersama-sama mendayung perahu, ia tidak pantas mengeluh. Masih untung Naval tidak membiarkannya menggelandang di Quanice.
Naval merapatkan perahunya di dermaga sungai, kemudian mengikatkan tali pada salah satu tiang kayu penyangga dermaga agar perahu tidak terbawa arus sungai. Setelah terikat kuat, Naval melompat ke atas dermaga. Ia mengulurkan tangan dari atas untuk membantu mengeluarkan Reese dari perahu.
“Raih tanganku,” titah Naval. Reese menurut. Ia meraih tangan Naval, kemudian melompat ke atas dermaga—seperti yang telah Naval lakukan sebelumnya. Ia kehilangan keseimbangan dan nyaris terjatuh kalau saja Naval tidak berhasil menangkapnya.
“Ups, hati-hati.”
Reese meringis, menyadari betapa cerobohnya ia. “Ah, ya, soal perkataanku tadi …,” cicit Reese. “Maafkan aku.”
“Tidak apa-apa,” sejurus kemudian, Naval menggenggam pergelangan tangan Reese. “Yuk, rumahku dekat dari sini.”
Wilayah Vandela terlihat lebih tertata rapi walaupun sederhana. Bangunan-bangunannya dikelilingi oleh rumput hijau dan pohon berbuah. Sangat jauh berbeda dengan kondisi wilayah Quanice. Quanice adalah wilayah gersang dan kumuh yang dikelilingi oleh pohon-pohon kering. Daripada tempat tinggal manusia, Quanice lebih pantas disebut tempat tinggal penyihir jahat. Perbedaan yang cukup mengerikan.
Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit berjalan kaki dari dermaga sungai untuk sampai ke rumah Naval. Seperti rumah-rumah lainnya di Vandela, rumah Naval tersusun dari batu bata yang dicat krem dengan genting berwarna merah. Reese berdecak kagum. Memang rumah-rumah tersebut tidak semewah rumah-rumah di dunianya, bahkan terlalu sederhana sebetulnya, tetapi gayanya yang seperti rumah-rumah zaman dahulu sungguh memanjakan mata, ditambah pemandangan pegunungan bebatuan jauh di belakang wilayah Vandela benar-benar nyaris membuatnya lupa bahwa ia sedang berada di dunia lain. Mengesampingkan seluruh kejanggalan Candell, rasanya Reese ingin tinggal di Vandela.
Naval mengetuk-ngetuk pintu rumahnya. Ketukan kesatu, tidak ada jawaban. Ketukan kedua, tidak ada jawaban. Ketukan ketiga, pintu dibuka, menampakkan gadis kecil dengan rambut dikepang dua, wajahnya polos sekali.
“Kakak!” Gadis kecil tersebut langsung memeluk Naval.
“Hai, Summer,” Naval berjongkok, balas memeluknya. Kemudian, Naval beralih menatap Reese. “Oh, iya, Zabrina. Perkenalkan, dia adikku, namanya Summer,” Naval kembali menatap Summer. “Nah, Summer, dia adalah temanku yang berasal dari Quanice, namanya Zabrina.”
Summer tersenyum, lantas melambaikan tangan. “Hai, Kak Zabrina, senang bertemu denganmu.”
“Hai, Summer, senang bertemu denganmu juga,” Reese ikut melambaikan tangan.
Naval mengelus lembut surai adiknya. “Summer, sekarang tolong ambilkan pakaian untuk Kak Zabrina, ya?”
“Loh, bukankah pakaian Quanice dan Vandela berbeda?” Summer mengerutkan dahi. Pasalnya, Candell menerapkan kewajiban atas masing-masing wilayah untuk mengenakan pakaian yang telah ditentukan oleh kerajaan, mereka dilarang bertukar pakaian kecuali ada kepentingan mendesak—pakaian yang basah akibat tenggelam di sungai bukanlah suatu kepentingan mendesak tentunya. Pelanggar akan dikenakan sanksi kenaikan tarif pajak, sanksi yang sangat mengerikan bagi penduduk Vandela dan Quanice sebab pendapatan setiap hari pun belum tentu mencukupi tarif pajak normal per bulannya.
“Biar aku yang mengurusnya,” kata Naval. Summer mengangguk, lantas berlari kecil ke dalam rumah. "Yuk, langsung masuk saja, Zab.”
Begitu masuk, Reese langsung disambut oleh wangi roti dari pemanggangan. Tampak Ibu Naval yang sedang memasukkan adonan lainnya ke dalam pemanggangan, sedangkan Ayahnya menaburkan gula halus di atas roti-roti yang telah matang. Naval memperkenalkan Reese ke setiap anggota keluarganya.
Ibu Naval tersenyum lembut. “Aku sudah dengar dari Summer, kau butuh pakaian, bukan? Sekarang naiklah ke lantai dua, Summer telah menunggu.”
“Ah, ya, terima kasih,” Reese membungkukkan badannya.
“Kembalilah ke bawah setelah berganti pakaian, aku akan menyiapkan hidangan untukmu,” kata Naval. Reese mengangguk, mengucapkan terima kasih lewat isyarat mata.
Bangunan rumah Naval memang tersusun atas tumpukan batu bata, tetapi rata-rata perabotan rumahnya terbuat dari kayu. Desain interiornya sangat unik sampai-sampai Reese merasa peri-peri sedang bersembunyi di suatu tempat di dalam rumah Naval. Lagipula, boleh jadi tidak mustahil setelah melihat naga berkeliaran bebas di langit biru sementara naga di dunianya hanyalah sebatas makhluk mitologi.
“Summer?” Panggil Reese.
Kepala Summer menyembul dari salah satu ruangan. “Kak Zabrina, di sini, aku telah menyiapkan pakaian untukmu,” kata Summer. Ia mempersilakan Reese menuju ruangan yang tampaknya seperti kamar tidur dari salah satu anggota keluarga Naval. “Untuk menghargai privasimu, aku akan menutup tirai ini, oke?”
“Ya, baiklah,” Reese mengangguk. Setelah mendapatkan persetujuan Reese, Summer langsung menutup tirai dan berlari ke lantai bawah.
Reese menatap sekeliling, memerhatikan setiap sudut kamar dengan desain yang luar biasa cantik. Seluruh perabotan terbuat dari kayu. Jendela raksasa memperlihatkan pemandangan pegunungan bebatuan yang tertutup awan-awan tipis. Sulur-sulur dari tanaman rambat yang tidak terurus merambat menghiasi dinding kamar melalui ventilasi berukuran lebar. Reese menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya. Ia tidak pernah merasa setenang ini dalam hidup. Sebetulnya, ingin sekali ia berlama-lama di kamar entah-milik-siapa tersebut, tetapi jelas tidak bisa sebab ada anggota keluarga yang sedang menunggu kehadirannya di lantai bawah.
Ah, benar, nyaris saja Reese terlena dengan pemandangan dari jendela kamar. Ia buru-buru berganti pakaian. Takut dicurigai sebagai pencuri atau semacamnya karena telah berdiam diri terlalu lama di dalam kamar orang lain.
Naval menaruh roti kismis dan teh di hadapan Reese. Roti tersebut benar-benar baru dikeluarkan dari pemanggangan sehingga asap tampak mengepul-ngepul darinya. Reese menelan ludah, ia sangat tidak sabar untuk menikmatinya. Sayangnya, ia perlu menahan lapar terlebih dahulu karena sepertinya akan diadakan acara makan-makan sekeluarga (plus Reese) dadakan.
“Kau tadi sedang apa di atas? Mengapa lama sekali?” Bisik Naval. ia menarik kursi, lalu duduk di sebelah Reese.
“Ah… aku terlena dengan pemandangan dari jendela salah satu kamar tidur tempat aku berganti pakaian. Indah sekali.”
“Oh, itu kamar tidurku. Aku tahu, pemandangannya memang menakjubkan,” Naval mengendikkan bahu. “Haish … tetapi mengapa pula Summer menjadikan kamarku sebagai tempat kau berganti pakaian? Tidak bisa menyalahkannya sih, ia selalu malu menunjukkan kamarnya ke orang lain. Kalau menggunakan kamar orang tuaku … jelas tidak mungkin,” keluh Naval. Ia mengusap wajahnya. “Kamarku pasti berantakan sekali, maafkan aku.”
Reese mengerutkan kening, merasa sedikit tersinggung karena kamarnya yang asli jauh lebih berantakan. Kamar Naval jelas tergolong rapi. Mungkin tata letak bantalnya saja yang tidak disusun sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan kesan berantakan, tetapi tidak ada masalah kok dengan penataan barang-barang lainnya.
“Kau sedang merendah untuk meroket, ya?” Tuding Reese.
“Eh, apa maksudnya itu? Apakah itu sebuah pujian?”
Belum sempat Reese menjawab, orang tua Naval dan Summer datang, ikut bergabung dalam meja makan. Mereka membawa roti dan teh masing-masing. Ibu dan Ayah Naval tersenyum ramah kepada Reese, seakan-akan baru saja mengucapkan selamat datang. Reese balas tersenyum canggung.
Naval menyikut Reese diam-diam. “Hei, kau belum menjawabku, apa maksud dari merendah untuk meroket?” Bisik Naval.
“Sulit dijelaskan, kau harus datang ke duniaku terlebih dahulu untuk mengerti,” Reese balas berbisik.
Naval mengerucutkan bibir. “Kuharap itu sebuah pujian, Nona.”
“Yah, sebetulnya itu bukan pujian, Tuan,” Reese cekikikan.
“Apa?!” Naval melotot.
Ibu Naval menatap Reese dan Naval berganti-gantian. “Kalian sedang apa sih?” Selanya.
Reese dan Naval buru-buru memperbaiki posisi duduk, tegak lurus menghadap ke depan. “Tidak ada apa-apa,” sahut mereka berbarengan, lantas saling menatap satu sama lain. Tertawa kecil. Menyadari betapa kompaknya mereka.
“Ya sudahlah,” Ibu Naval ikut tertawa kecil. “Zabrina, selama kau berganti pakaian, Naval bercerita banyak tentangmu loh.”
Reese memelototi Naval. Takut-takut Naval menceritakan soal kedatangannya dari dunia lain—alias tempat asalnya. Ia tidak mau dianggap gila. Namun, Naval hanya mengendikkan bahu dan berbisik, “Tenang saja, tidak kuceritakan kok.”
“Kata Kak Naval, baju Kakak basah karena tercebur ke sungai, ya?” Tanya Summer tiba-tiba dengan tampang polosnya.
Sialan kau, Naval. Batin Reese. Tanpa rasa bersalah, Naval memberikan Reese tatapan aku-tidak-tahu-alasan-lain-yang-lebih-baik.
Reese menghela napas pasrah. “Iya, Summer. Aku tergelincir bebatuan sungai,” jika kau berbohong sekali, maka kau harus menciptakan kebohongan lainnya untuk menutupi kebohongan pertama.
“Terus, apa benar kau terbentur dasar sungai saat tercebur?” Ibu Naval bertanya serius.
“Err … ya?” Oh, astaga, kebohongan apa saja yang telah Naval ceritakan?
“Pantaslah kau lupa ingatan sementara sampai tidak ingat jalan pulang seperti yang telah Naval ceritakan,” Ayah Naval ikut nimbrung. Ekspresinya sedih sekali. “Ah, semuanya, mari kita bersama-sama menikmati hidangannya.”