Bel pulang berbunyi. Semua murid memasukkan buku ke dalam tas, kecuali sahabat Nindya yang sedang asyik mengobrol. Mereka masih setia menunggu Nindya yang mengikuti ulangan susulan.
Setengah jam kemudian, Nindya balik ke kelas dengan bernyanyi pelan. Tiba di kelas, ia langsung menyapa sahabatnya. "Hai guys!" serunya dengan ceria.
"Hai!" sahut mereka serentak.
"Cepat amat, Nin," ucap Laras sambil mengelap kacamatanya. Eits, Laras tidak culun apalagi cupu. Hanya saja ia lebih pede saat menggunakan kecamatan. Selain matanya minus, memakai kacamata seperti menjadi pelengkap bagi Laras.
"Biasa, anak pintar," jawab Nindya dengan bangganya sambil menaik-naikkan alisnya.
Sementara Bian yang mendengar ucapan Nindya tersenyum samar. Ia akui, kepintaran Nindya memang di atas rata-rata. Jadi, tidak salah kalau dia sebenarnya menjadikan Nindya panutannya. Tentunya, dari segi kepintarannya.
"Kalian ngapain masih disini?" tanya Nindya dengan polosnya.
Mendengar pertanyaan Nindya, Shelly langsung memutar bola matanya jengah, "mau nginep."
Sepertinya Shelly salah menjawab. Buktinya, Nindya menggebrak mejanya keras dan tak lupa juga wajahnya yang kentara sekali bahwa ia bahagia. "Demi apa?! Gue mau banget!" serunya dengan antusias.
"Sekolah ini, kan katanya horror. Nah, gue penasaran banget itu. Pengen lihat kuntilanak itu kaya gimana. Pengen mastiin aja kalau berita itu hoax atau gak."
Seketika semuanya memasang wajah datar. Terkadang memang ada saja keinginan manusia. Seperti Nindya yang ingin sekali menginap di sekolah hanya untuk memastikan ada kuntilanak atau tidak. Manusia normal justru tidak ingin melihatnya. Tapi, entahlah Nindya memang anehnya luar biasa.
Dimas menjitak kening Nindya keras.Kayaknya dia kerasukan soal ujian, deh. Batin Dimas sambil menggelengkan kepalanya tidak percaya.
Nindya bingung. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Menurutnya, tidak salah ia mengekspresikan apa yang ia inginkan. "Lho, kenapa? Ada yang salah?"
Hening.
"Gue mau pulang," ucap Shelly tidak menggubris pertanyaan Nindya dan meninggalkan Nindya begitu saja.
Dimas, Bian, dan Laras mengekori dari belakang membiarkan Nindya yang cengo sendirian. "Hei, tungguin gue!" Nindya memakai topinya dan mengaitkan tali ranselnya sebelah kanan di pundaknya. Mau tidak mau ia menyusul sahabatnya. Apalagi Nindya mau minta tolong anterin ke Bian. Secara rumah mereka satu arah.
"Bian... tungguin gue! Gue mau nebeng!" Teriaknya sambil mengejar Bian.
Bian yang merasa dipanggil langsung menolehkan kepalanya. Tatapannya tetap sama, seperti orang yang tidak punya beban, namun wajahnya selalu datar.
"Nebeng lo boleh, kan?" tanya Nindya setelah tiba di hadapan Bian.
"Soalnya, abang gue gak bisa jemput," lanjutnya, berharap Bian mau. Padahal tanpa babibu pun, Bian pasti mau mengantarnya.
Respon Bian hanya mengangguk. Kemudian mereka berjalan beriringan tanpa kata. Setelah tiba di parkiran, ia mengeluarkan motornya. Nindya berdiri seperti menunggu pacarnya memberi tumpangan.
Bian menyodorkan helmnya. Ia sengaja membawa dua helm, karena Bian tahu kalau ia selalu jadi sasaran tebengan Nindya. Untung Bian tidak pernah perhitungan. Bayangkan saja kalau seandainya diharuskan membayar, sudah berapa lembar uang yang Nindya berikan.