"YA ALLAH, RAFAEL!"
Nindya yang mendengar suara teriakan itu langsung terbangun dari tidurnya.
"Ada apalagi, sih, ribut-ribut. Mau tidak mau Nindya beranjak dari kasurnya dengan nyawa yang belum terkumpul sempurna. Kemudian ia menuruni tangga itu dengan hati-hati.
Tiba di anak tangga terakhir, Nindya berusaha membuka matanya lebar, memastikan apa yang terjadi. Betapa terkejutnya saat ia melihat Rafael dipenuhi lebam dan luka diwajah dan lengannya. Nindya cepat berlari menghampiri Rafael yang sedang duduk di sofa tak berdaya. "Lo habis ngapain, Bang?" tanya Nindya tidak percaya akan kondisi Rafael.
"Lo kenapa bisa sampai gini, sih?" tanyanya lagi.
"Udah-udah daripada kamu banyak tanya, mending sekarang ambil air sama handuk kecil."
"Oh ya jangan lupa kotak P3K di laci atas."
"Buruan!" seru Dian lagi saat Nindya tidak beranjak dari tempatnya.
Nindya berlari cepat mencari baskom dan handuk kecil itu. Kemudian ia mengisinya dan mencari kotak P3K. "Bentar-bentar, tangan gue, kan, ada dua... Ini gue gimana bawanya, ya? tanya Nindya pada diri sendiri sambil mencoba membawa dua-duanya.
"Takut jatuh, "keluhnya sambil memasang mimik sepanik mungkin.
"NINDYAAA! CEPETAN! NGAPAIN KAMU DI SANA LAMA BANGET?"
"Gak bisa bawa dua-duanya, Bu," teriak Nindya balik.
"ASTAGHFIRULLAH! BAWA AIRNYA DULU, NINDYAAA!"
Tanpa berpikir panjang Nindya cepat-cepat berlari. Ia tidak mau mendengar suara teriakan Dian yang membuat gendang telinganya hampir pecah.
"Kamu ini ya disuruh ngambil ini aja lama banget," omel Dian sambil mulai membersihan sisa-sisa darah yang sudah Rafael bersihkan dengan tisu.
"Kamu juga. Ngapain aja sampai bisa gini?"
"Shhh," desis Rafael pelan.
Nindya yang melihat Dian menekan handuknya tepat di luka itu mulai meringis. "Pelan-pelan, Bu. Itu sakit, lho."
"Biarin, biar abangmu ini gak ngulangin lagi," sahut Dian dengan kesal.
"Mana P3K-nya?" pinta Dian dengan menyodorkan tangan kanannya.
Cepat-cepat Nindya mengambil kotak P3K itu. Ia tidak mau mendengar Dian berteriak lagi. Jujur saja Nindya tidak bisa disuruh cepat-cepat. Sekalian disuruh cepat, langkahnya terasa berat. Entahlah, apa memang Nindya yang aneh atau itu wajar saja.
"Lagian abang ngapain sampai bisa gini, sih? Lo di rampok atau gimana, bang?" tanya Nindya setelah mangambil P3K itu sambil membantu Dian yang sibuk mengobati luka Rafael.
"Percuma kamu nanya sampai berbusa, Nin. Abangnya lagi latihan puasa gak ngomong dua bulan."
Nindya menyikut lengan Dian pelan. "Ibu apaan, sih. Gak lucu. Abang lagi gini, masa Ibu masih bercanda gitu."
"Lho, emang iya. Daritadi ibu nanya juga gak dijawab. Apalagi kamu. Udah percuma. "
Nindya mengangguk kepalanya setuju. Rafael memang selalu diam. Sifatnya itu mengingatnya pada Bian, sahabatnya. Nindya tak bisa membayangkan bagaimana jika mereka berdua disatukan. Pasti hanya suara jangkrik yang terdengar.
"Jangan di ulangi lagi, Bang. Gue takut lo kenapa-kenapa. Kalau lo gak ada, siapa yang mau antar jemput gue, ucap Nindy melas sambil bersender manja di pundak Rafael.
Nindya akui ia sangat menyayangi Rafael. Walaupun Rafael sering bersikap dingin padanya, tetapi ia tahu kalau Rafael juga menyayangi Nindya. Hanya saja Rafael tidak pernah terbuka padanya. Untung Nindya mengerti, kalau tidak, mungkin Nindya akan membenci sosok yang di depannya itu.
Dian menjitak kepala Nindya keras. "Kamu ini kayak manfaatin abangmu."
"Kalau sayang itu harus tulus. Bukan karena ini itu. Jadi, kalau abang kamu gak antar jemput kamu langsung hilang sayangnya, gitu?"