"Ulangannya susah banget." Dimas mengeluh akibat ulangan Matematika yang membuatnya pusing. Ia berjalan dengan malas di koridor sekolah bersama sahabatnya. Sesekali otaknya memikirkan hasil ulangannya tersebut. Tujuan Dimas saat ini hanya Kantin. Ia ingin cepat-cepat mengisi perutnya yang terus berbunyi selama ulangan. Dan melupakan ulangan itu.
Nindya mengangguk setuju sambil mengerucut bibirnya. Nindya akui ia memang sangat lemah di pelajaran Matematika. Nilai paling tinggi cuma tujuh puluh lima. Itupun bisa di hitung berapa kali ia dapatkan. Entahlah, dalam hitung menghitung sudah menjadi kelemahannya sejak dulu.
"Halah, lo ngangguk iya tapi ntar nilanya tinggi," ucap Dimas memajukan bibirnya.
"Kagak ya. Gue emang lemah di Matematika. Iya, kan, Shell?"
Shelly mengangguk tanpa menoleh pandangannya dari ponselnya. Ia asyik men-scroll Instagram. Tak lupa juga kalau ada yang viral pasti ia jadikan topik atau bahan gibah selanjutnya. Sahabatnya biasa menyebutnya, 'Shelly si ratu gibah.'
"Semua orang bisa kalau mau berusaha."
Siapa lagi kalau bukan Bian. Sekali bicara kata-katanya bagaikan pak Mario Teguh. Eits, tidak bagi Nindya. Lebih tepatnya, Kata-kata Bian seperti menusuk hatinya. Ditambah dengan ekspresi yang selalu datar, membuat Nindya semakin geram.
"Oh, jadi maksud lo gue gak pernah berusaha gitu?" Nindya bertanya sambil mendongakkan kepalanya berharap Bian menarik ucapannya.
Bian menaikkan kedua alisnya sebagai jawaban seolah-olah ia berkata 'Iya'.
"Gue bukan gak mau berusaha. Emang pada dasarnya otak gue yang gak bisa inget semua rumus itu."
Nindya menahan amarahnya agar tidak meledak. Bagaimana tidak, kekurangan Nindya selalu saja diperdebat oleh Bian. Lama-lama gue lem mulutnya.
"Stop-stop!"
Serentak mereka memberhentikan langkahnya mendengar interupsi dari Shelly.
"Apaan, sih, Shell. Gue udah lapar maksimal, nih." Dimas mengelus perutnya yang mulai keroncongan.
"Tian sama Risa jadian?"
Seketika semuanya mendengus kesal mendengar pertanyaan Shelly.
Bian melangkah kakinya tidak peduli. Sementara Nindya dan Laras mengekori Bian dari belakang. Mereka sudah malas menanggapi pertaanya Shelly tentang Tian yang tidak ada habisnya.
"Tapi kali ini benaran, deh. Tuh lihat!" Shelly tidak menyerah ia menunjukkan layar ponselnya pada Dimas yang terdapat foto dua remaja saling tatap-tatapan.
"Terus?"
"Cinta gue bertepuk sebelah tangan, dong?"
"Suruh siapa suka kok diam."
Shelly memukul pundak Dimas dengan kipas angin portable tanpa sadar. "Lo kira gue cewek apaan, ha?!"
"Sakit Shel. Lo jadi manusia emang gak punya hati."
"Lo."
"Lo."
"L---"
"Shelly, Dimas, Kalian tetap mau jadi Tom & Jerry di situ?" teriak Nindya menghentikan aksi mereka berdua. Kemudian mereka cepat-cepat menyusul dengan saling menggerutu.
Tiba di kantin mereka memesan makanan seperti biasa. Mereka memilih tempat yang sekiranya tidak terlalu ramai. Apalagi Nindya yang sama sekali tidak suka keramaian. Cukup sahabatnya yang membuat telinganya hampir pecah.
"Kalian tadi kenapa, sih?" tanya Nindya berusaha memecahkan keheningan sambil mengunyah makanannya.
"Gpp." Shelly menjawab sambil melirik Dimas tajam seolah-olah Dimas rivalnya.
"Biasa, Tian sama Risa," jawab Dimas.
Nindya mengangguk paham. Shelly memang sering bercerita betapa terobsesinya Shelly pada Tian. Tapi Shelly tidak berani untuk mengungkapnya. Yang membuat mereka kesal, Shelly selalu bercerita tentang Tian, tapi sama sekali tidak ada kemajuan. Tentu hal itu membuatnya bosan, kan?