"Jangan lupa disalin ya anak-anak," ucap pak Bambang, guru Geografi sambil membereskan kertas-kertas di atas meja lalu memasukkan ke dalam mapnya.
"Dan jangan lupa pertemuan besok maju kedepan ya. Seperti biasa, tes lisan."
Semua mengeluh mendengar perintah pak Bambang. Kepalanya tangan tadinya berat semakin berat. Sementara otak sudah bicara ingin istirahat. "Pak, itu semua?" Tanya salah satu murid yang berpenampilan culun.
Pak Bambang mengangguk sebagai jawabannya. Senyum jahilnya itu membuat Dimas membatin. Ini otak kalau bukan ciptaan Tuhan, udah konslet. Gak berfungsinya lagi.
"Tapi pak besok ada ulangan Geografi," ucap murid di samping Dimas yang berpenampilan culun itu berusah menggagalkan tes lisan itu.
"Terus?" tanya Pak Bambang dengan menaikkan kedua alisnya. Jujur saja, Dimas semakin kesal. Rasanya ingin sekali Dimas berkacak pinggang di depan gurunya itu sambil memelototi. Tentu saja, kalau Dimas tidak ingat beliau gurunya.
"Otak saya gak mampu, Pak." sahut murid yang duduk paling dipojok belakang yang biasa disebut, 'preman kelas" oleh teman-temannya.
Pak Bambang tertawa puas. "Kalau gitu...," jawabannya sengaja digantung supaya muridnya semakin greget.
Semua menunggu dengan berharap pak Bambang menggagalkan tes lisan Geografi. Termasuk Nindya dan sahabat-sahabatnya. Bukan malas, hanya saja ditengah ulangan yang numpuk, tes lisan terkadang membuat mereka semakin pusing. Secara otak sudah banyak menyimpan catat-catatan, ditambah diharuskan untuk berbicara yang terkadang mulut dan otak tidak sinkron. Mereka hanya tidak yakin tes lisan itu berjalan dengan lancar
"Kalau gitu... ya udah, itu jadi urusan kalian."
Serentak semuanya mengeluh. Wajahnya pun semakin masam. Seketika bayang-bayangan buruk berkecamuk di otak mereka. Mereka tidak bisa membayangkan betapa sialnya hari esok.
Minggu ini mereka memang sedang melaksanakan PTS (Penilaian Tengah Semester). Yang dulu biasanya disebut UTS (Ulangan Tengah Semester). Tentu PTS ini menguji ingatan semua murid. Walaupun sebagian ada yang sudah hafal di luar kepala, tetapi tetap saja rasanya menegangkan.
"Selamat berjuang anak-anak!" ucap pak Bambang sebelum meninggalkan muridnya yang lemas dan frustasi.
Diam-diam pak Bambang tersenyum puas melihat ekspresi muridnya. Beliau bukan jahat. Ia hanya ingin muridnya tidak menyepelekan pelajaran. Itulah mengapa ingin menguji ingatan mereka. Tapi, tetap saja bagi mereka adalah malapetaka.
"Haduh, gue kira penderitaan gue cuma hari ini doang. Tapi ternyata besok lebih buruk."
Dimas menatap papan tulis dengan wajah yang lesu. Tak lupa juga ia melihat sekelilingnya yang fokus menyalin. Tapi ada beberapa juga yang melamun sambil sumpah serapah.
"Ini gak bisa di foto aja gitu?" tanya salah satu murid yang duduk paling depan sebelah kanan pada teman sebangkunya.
"Terserah lo, sih. Kalau gue mending di sini aja. Soalnya gue takut lupa. Bisa berabe di hukum sama pak Bambang berdiri di depan. Kan, malu," jawab teman disampingnya dengan mata fokus pada papan.
"Iya, sih."
Sementara Nindya menyalin tanpa berkomentar apapun. Hal itu tidak sulit baginya. Ia sangat suka menulis. Selain tulisannya yang rapi, ia bisa dengan cepat menyalinnya. Jadi, perintah pak Bambang di accept seratus persen.
Setelah semua selesai, mereka bergegas pulang termasuk Nindya dan sahabatnya. Tetapi setelah mereka tiba di depan gerbang, Nindya melupakan akan satu hal kalau Rafael tidak bisa menjemputnya.
Satu persatu mulai pergi meninggalkan Nindya yang sedang gelisah karena Rafael tidak juga muncul. Nindya melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sesekali ia mengecek ponselnya memastikan apakah Rafael menghubunginya.
"Lho, kan bang El gak bisa jemput." Nindya menepuk dahinya pelan saat ia sadar bahwa Rafael tidak bisa menjemputnya.
Tiba-tiba ia teringat pada ucapan Bian yang menusuk hatinya. Tentu hal itu membuat Nindya tidak mau pulang dengan Bian. Nindya tahu, hal tersebut bukan masalah yang besar. Tapi, tetap saja perasaan Nindya sangat sensitif, khusus Bian tentunya.
"Kalau gak karena Bian ngeselin, gue udah nebeng. Sayangnya gue udah kesal banget," gerutu Nindya sambil merapikan topinya.
Bian melihat Nindya yang meliriknya tajam. Sementara Nindya hanya melewati Bian tanpa kata. Bian memicing matanya melihat Nindya pulang dengan siapa. Tapi, ternyata Nindya berjalan kaki sambil memegang tali ranselnya. Hatinya pun mulai tidak tenang. Tapi, Bian terlalu gengsi untuk menghampiri Nindya apalagi mengajaknya pulang bersama.
Nindya berjalan sambil mendengarkan lagu dengan hati was-was. Jarak rumah dari sekolah tidak jauh. Kalau pagi Nindya sesekali pernah berjalan kaki. Itupun terpaksa kalau Rafael tidak bisa mengantarnya. Tapi, kalau pulang sekolah, hampir tidak pernah. Jadi, wajar saja sekarang ia takut.