Nindya tiba di sekolah lima menit sebelum bel berbunyi. Ia berjalan dengan pandangan kosong. Kata-kata ayahnya bagaikan boomerang baginya. Hatinya masih terasa sakit mengingat semua kata-kata Andre. Ia sangat shock dengan kejadian yang terjadi secara tiba-tiba. Kakinya masih terasa bergetar. Serta sekujur tubuhnya terasa dingin.
Kenapa rasanya sesakit ini? batinnya sambil mencengkram dadanya.
Tiba di depan kelas, Nindya membuang nafas pelan. Kemudian ia merubah ekspresinya sebahagia mungkin. Ia tidak mau kentara kalau sedang tidak baik-baik saja.
Selang beberapa menit, bel berbunyi. Ulangan pun dimulai. Pelajaran pertama geografi. Mereka mengerjakan Penilaian Tengah Semester terlebih dahulu. Nindya cuma bisa berdoa supaya ia dapat mengerjakan ulangan dengan sebaik mungkin. Walaupun Nindya ragu akan hal itu, tetapi hatinya berusaha meyakinkan.
Setelah PTS selesai, mereka diperbolehkan menyerahkan cacatan serta tes lisan bisa dimulai. Nindya berusaha sekonsentrasi mungkin saat mengerjakan pts itu. Tapi percakapan di ruang makan itu terngiang-ngiang di kepalanya.
Nindya memukul kepalanya pelan. Ia ingin fokus tapi rasanya sulit. Laras yang di sebelahnya melihat Nindya yang gelisah langsung bertanya, "kenapa, Nin?"
Nindya membalas dengan menggelengkan kepalanya.
"Susah ya?"
Nindya menjawab asal dengan mengangguk kepala. Ia tidak mau Laras curiga. Sementara Laras menyerngit keningnya heran. Rasanya tidak mungkin Nindya merasa kesusahan di pelajaran yang Nindya gemari. Tapi, Laras langsung mengusir pikiran itu. Ia ingin cepat menyelesaikan ulangannya lalu ia akan bertanya saat istirahat nanti.
Setelah merasa kertasnya terisi semua, Nindya maju kedepan. Tak lupa juga membawa catatan Geografi untuk penilaian tes lisan. Nindya menyerahkan kertas ulangan dan buku catatannya. Kepalanya terasa pusing. Tapi mau tidak mau Nindya harus memulainya.
"Interpretasi citra adalah upaya pengenalan identitas suatu.. o..bjek a..tau gejala yang.. tergambar pada objek. Eh cit..ra."
Nindya menjelaskan dengan terbata-bata sambil memeras belakang roknya. Keempat sahabatnya dibuat bingung oleh Nindya. Secara Nindya tidak pernah gugup seperti itu apalagi nge-blank. Rasanya itu mustahil bagi Nindya.
Pak Bambang pun juga merasakan hal sama. Ia tahu sekali Nindya anak yang cerdas dan selalu lancar saat presentasi. Tidak ada tanda-tanda gugup saat berada di depan. Pak Bambang menyimpulkan bahwa tidak mungkin Nindya seperti itu kalau tidak ada sebabnya.
"Interpretasi itu terdapat sembilan unsur. Bentuk, ukuran, tekstur, hmm objek dan sens--"
"Kamu ada yang ngerasa aneh gak?" Pak Bambang memotong dengan mengangkat sebelah alisnya.
Nindya menunduk tak berani menatap mata pak Bambang.
"Jawab Nindya!" ucap pak Bambang sedikit membentak.
Semua merasa tegang. Laras pun hatinya ikut deg-degan. Suara pak Bambang menggelegar mengisi ruangan. Sampai-sampai ruangan terasa semakin dingin.
"Kamu tahu, kan kalau saya paling tidak suka kalau menjelaskan dengan terbata-bata seperti itu?"
Nindya tetap tidak menjawab. Sementara jantungnya berdetak lebih cepat. Ia baru pertama kali di bentak seperti itu di depan kelas bukan karena topi atau telat. Rasanya lebih sakit ketimbang telat lalu dihukum.
Pak Bambang sendiri sebenarnya tidak tega. Hanya saja ia ingin berlaku adil dan tidak membedakan muridnya.
"Maaf, Pak."