Life for Love

Fatimatuzzahro
Chapter #13

Alasan Gagal Move On

"Lo gak bosen sendirian di sini?" tanya Endi sambil melihat-lihat kamar Bian yang terlihat rapi.

"Gila ya, lo cowok tapi kamarnya bisa serapi ini. Beda banget sama gue yang kayak kapal pecah."

Endi sedang bertamu ke kos Bian. Ia sengaja mendatanginya malam-malam karena ia penasaran dengan aktifitas Bian. Tak lupa juga Endi membawa beberapa cemilan dan makanan berat untuk ia santap.

"Biasa aja, sih."

Endi mendekati Bian yang sedang duduk sambil memainkan gitarnya. Kemudian ia berkata, "wih, ternyata makin jago lo mainnya," ucap Endi sambil menepuk bahu Bian pelan.

"Masih jagoan lo kok," ucap Bian sambil tersenyum miring.

Saat masih duduk di bangku SMP, Bian dan Endi pernah mengikuti les gitar bersama. Saat itu mereka mempunyai cita-cita untuk membentuk band dan teman-temannya. Namun, cita-cita itu kandas saat ternyata mereka terpaksa harus berpisah. Endi diharuskan melanjutkan sekolah ke Amerika atas permintaan orang tuanya. Tentu, mereka sangat sedih dan kecewa, tapi kejadian itu semakin membuat mereka rajin berlatih. Walaupun akhirnya cita-cita itu tidak pernah terwujud. Tapi, sekarang sudah bisa menjadi hobi masing-masing.

"Oh pasti itu," jawab Endi dengan pede-nya.

Bian terkekeh mendengar jawaban Endi. Baginya, Endi tidak pernah berubah. Endi tetaplah sahabat kecilnya yang selalu memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Kadang Bian iri karena tidak bisa seperti Endi.

"Lo kalau kerja jam berapa?" Dimas berdiri untuk mengambil bingkai foto terletak di bawah buku. Buru-buru Bian menepis tangan Endi karena tidak mau Endi melihatnya.

"Gak sopan."

"Aelah, gue cuma pengen lihat. Pelit amat."

"Jadi jam berapa?" tanya Endi, lagi.

Bian kembali memainkan gitarnya. "Sore."

"Berapa jam?"

"Lima jam."

"Bentar amat. Emang lo kerja apa, sih?" tanya Endi, penasaran.

"Ada."

Endi semakin gregetan dibuatnya. "Ya apa, Yan. Lo bikin gue greget. Sumpah."

"Ya ada lah kerja."

"Maksud gue tuh kerja apa yang cuma lima jam."

"Intinya gue kerja. Gak usah kayak mau lamaran kerja aja pakai di interview."

"Cuma nanya gue, Bi. Penasaran aja."

Bian menghembus nafasnya berat lalu berhenti memainkan gitarnya dan menolehkan kepala ke kanan menghadap Endi. "Lagian kalau lama-lama gak mungkin juga, kan?"

Endi mengangguk setuju. "Iya, sih. Lo, kan, masih sekolah. By the way anyway busway, cewek lo sekarang siapa?"

Pertanyaan Endi membuat Bian diam tak berkutik. Endi memang tahu semua akan masa lalu Bian. Tapi, sama sekali Bian tidak pernah menyangka kalau Endi masih mau membahasnya. Bian masih diam cukup lama sambil menatap kebawah lalu menghela nafas sebagai jawabannya.

"Lo masih belum move on dari dia?"

Lagi-lagi Bian diam. Bagaimana pun perasaannya tidak bisa dipaksa untuk melupakan. Bian sudah terlalu mencintai perempuannya yang susah sekali untuk di miliki. Jujur saja, Bian merasa tidak pintar menarik hati cewek. Walaupun sebenarnya sudah banyak cewek yang jatuh hati padanya. Hanya saja Bian tidak peka dan tidak mau.

"Lo gak bisa diam gitu, Bi. Kalau lo mau maju ya maju. Jangan diam di tengah. Si onoh mana tau kalau lo suka. Udah bertahun-tahun, lho."

Bian setuju. Tapi apalah daya Bian tidak berani dan malu. Terkadang Bian kesal sendiri mengapa ia menjadi cowok sangat pemalu. Seperti bukan cowok sejati.

"Lo ini sebenarnya aneh. Gitu aja lo malu. Tapi kalau ngomong pedas gitu, gak. Harusnya disitu lo baru malu, kan kesannya kayak cowok gak punya hati."

Lihat selengkapnya