6.00 PM
Nindya termenung di depan lemari. Ia tidak bergairah untuk pergi ke acara pertemuan keluarga itu. Kalau saja bukan permintaan orang tuanya, Nindya tidak akan mau.
Nindya melirik jam tangannya. Jarum panjangnya berhenti tepat di angka enam. Itu tandanya Nindya sudah setengah jam berdiri di depan lemari bajunya."Bahkan gue aja gak tahu mau pakai baju apa."
Mata Nindya menatap terus deretan baju di depan itu. "Apa cuma gue yang tiap mau kemana-mana gak tahu mau pakai baju apa? Kasian amet hidup gue."
Kepala Nindya mulai terasa pening. Ia berlari ke bawah menghampiri Dian yang sudah siap di bawah dengan gaun merahnya sambil menonton TV. Dian terkejut melihat penampilan anaknya yang masih dibalut piyama pink polkadot. "Lho, kamu kok belom siap-siap?" tanya Dian sambil menyerngit keningnya.
"Gak tahu mau pakai baju apa."
Dian menggelengkan kepala lalu mematikan TV dan beranjak dari sofa untuk ke kamar Nindya. Tiba di kamar Nindya, Dian langsung membuka lemari anaknya itu. Betapa terkejutnya saat ia melihat tidak ada gaun satu pun.
"Gaun yang pernah ibu beli dimana?" tanya Dian sambil mencari gaun itu.
Nindya menjawab dengan mengarahkan tangan telunjuknya ke atas dimana terdapat koper berwarna pink yang cukup besar. Sementara wajah Nindya sudah dibuat semelas mungkin supaya Dian tidak marah. Mati gue.
Dian melotot lalu menghadap Nidnya tidak percaya. Sementara Nindya semakin memelaskan wajahnya. "Jadi gak pernah kamu pakai?" Dian bertanya dengan geram. Ia tidak paham lagi mengapa anak perempuannya tidak pernah suka dengan gaun atau baju yang feminim.
Nindya menggeleng kepala pelan. "Lagian aku gak pernah pesta-pesta gitu. Ngapain aku pakai."
Nindya berusaha mencari pembelaan. Semenjak beranjak remaja, Nindya memang tidak pernah lagi pergi ke pesta. Terakhir kali yang ia ingat waktu SD. Itu pun dipaksa oleh orang tuanya. Alasannya, Nindya susah berinteraksi dengan orang baru. Tentu hal itu membuat Nindya tidak nyaman. Toh, kalau tidak nyaman untuk apa dipaksa, kan?
Dian mulai kesal. Nafasnya berderu tidak teratur. Dian ingin sekali marah, tapi berusaha menahan sekeras mungkin agar perkataan yang tak wajar ia keluarkan. "Terus sekarang gimana?" tanya Dian dengan intonasi yang pasrah.
"Ya pakai baju sehari-hari aja." Nindya menjawab dengan suara lantang seakan-akan ia sangat yakin memakai baju pilihannya.
Dian menjitak kepala Nindya keras. "Kamu ya ... mau bikin ayahmu marah?"
Nindya menggeleng kepalanya cepat. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk Nindya berdiri. Apalagi sampai terjadi. Nindya yakin, ia akan melihat Andre sangat marah seperti kebakaran jenggot.
"Ikut ibu."
Dian menarik paksa Nindya menuju kamarnya. Nidnya hanya pasrah. Sebenarnya, Nindya masih kesal karena ibunya tidak berusaha menolak perjodohan itu. Tapi disisi lain Nindya memaklumi kalau posisi Dian sama sepertinya. Tidak bisa menolak.
"Pakai ini aja," pinta Dian.
Nindya melebarkan mulutnya tidak percaya saat Dian melempar gaun berwarna hitam selutut serta bahu yang setengah terbuka. Nidnya akui, gaun itu memang bagus sekali, tetapi untuk memakainya Nindya masih kurang percaya diri.
"Ibu serius aku mau pakai baju ini?
Dian mengangguk kepalanya mantap seolah-olah tidak ada keraguan dalam dirinya. "Kenapa? Ini bagus, lho."
"Tuh, kan, cocok," dengan suara girangnya, Dian memegang daun itu di depan Nindya sambil tersenyum.
"Gak ah. Aku gak pede pakainya, Bu."
"Justru itu tantangannya, Nin."
"Udah-udah sekarang kamu pakai. No comment!" Dian mendorong Nindya ke kamar mandi. Mau tidak mau Nindya menurutinya. Ia melangkahkan kaki dengan malas.