Nindya terkejut ketika menampakkan kakinya. Gedung megah serta tanaman indah yang mengelilingi bangunan itu membuatnya speechless. Mata Nidnya terus mengelilingi di sekitarnya.Ia yakin penghuninya pasti bersifat angkuh dan arogan. Tapi, ia menepiskan pikiran buruknya itu.
Sementara Rafael harap calon mertua Nindya bersifat baik. Tidak seperti orang kaya yg pernah ia temukan sebelumnya. Beberapa detik kemudian, dua orang datang menghampiri keluarga Nindya. Nindya yakin, mereka adalah bodyguard.
"Tuan dan nyonya sudah menunggu di dalam."
Andre membalas dengan senyuman. Kemudian Andre menggandeng tangan Dian lalu berjalan dengan elegan. Sementara Nindya dan Rafael mengekori di belakang sambil melihat-lihat sekelilingnya yang
"Bagus ya," ucap Nindya pada Rafael dengan lirih.
"Hm."
"Tapi gue deg-degan. Biasanya orang kaya kebanyakan yang ... ya you know."
Rafael mengangguk setuju.
"Gue harap bokap ngejodohin gue bukan karena ngincar hartanya."
Cepat-cepat Rafael menyenggol lengan mulus Nindya pelan. "Jangan mikir macam-macam.
Nindya diam. Sekejam apapun Andre padanya, Nindya yakin Andre punya niat yang baik. Lebih tepatnya, Nindya tidak mau berburuk sangka pada orang tuanya sendiri.
Tiba di depan pintu, Nindya memberhentikan kakinya yang jenjang. Ia takjub melihat ruangan yang begitu elegan dengan cat berwarna putih dan abu-abu. Kaki Nindya terasa emas. Untuk pertama kalinya ia berpijak di rumah yang sangat megah.
"Nindya," panggil Dian sambil melambaikan tangannya.
Nindya langsung tersadar. Kemudian ia berjalan mendekati orang tuanya dan berdiri disampingnya dengan senyum. Tentu senyum paksa.
"Selamat datang di rumah kami, Pak Andre."
Pria dengan tubuh tinggi kurus serta kumis tipis serta kecamata yang bertengger rapi itu menyapa. Wanita di sampingnya yang Nindya yakin dia istrinya tersenyum ramah. Tak lupa juga mereka bersalam-salaman.
"Senang bisa bertemu dengan anda lagi, Pak Bima," lanjutnya dengan senyum geli karena sengaja menggunakan bahasa yang formal.
lagi? Samar-samar Nindya mendengar ucapan Andre saat ia menyalami wanita itu.
"Ah, kita seperti di acara formal ya."
Andre terbahak mendengar ucapan Bima. "Betul sekali."
"Oh ya siapa namamu, cantik?"
Nindya tersenyum malu dipanggil cantik oleh istri Bima. "Nindya, Bu."
"Ah jangan panggil ibu. Tante Dewi aja biar gak kelihatan tua banget."
Nindya tersenyum kikuk mendengar respon Dewi. Ternyata tidak seperti dugaannya. Justru keluarga yang Nindya pikir akan sombong, angkuh dan arogan itu 'menyambutnya dengan baik. Bahkan rasa nervous-nya sedikit hilang.
"Daripada kita berdiri lama di sini terus nanti encok, mending sekarang langsung saja ke ruang makan."
Bima mengajak sambil mereka dengan tertawa renyah. Nindya melihat wajah Bima merasa familiar. Ia yakin kalau Bima masih muda pasti Nindya jatuh cinta. Buru-buru Nindya menepis pikirannya. Ternyata kelemahan cewek itu memang tidak bisa melihat cowok tampan dikit. Tapi, wajah Bima memang mengingatkannya pada seseorang. Tapi, siapa ya?
"Selamat makan. Anggap aja rumah sendiri. Gak usah malu."
Dewi mempersilakan dengan santai. Seakan-akan mereka sering bertamu. Dian menjawab dengan mengangguk dan senyum juga. Sementara Nindya shock melihat menu makanannya yang terlihat menggiurkan. Sampai-sampai Nindya menelan ludah sendiri.
Nindya menarik kursi lalu duduk dengan canggung di samping Dian. Tapi, sadari tadi ia tidak melihat cowok yang akan dijodohkan dengannya. Tiba-tiba perutnya menggeliat. Ia penasaran seperti apa calonnya.