Langit gelap gulita serta angin sepoi-sepoi membuat Nindya melangkahkan kaki tak menentu sambil memeluk tubuhnya. Ia mengikuti kakinya kemanapun pergi. Air mata Nindya tak bisa berhenti. Ketika ia melihat tempat duduk, cepat-cepat duduk sambil mendongakkan kepala melihat langit yang tak melihatnya.
Memang, langit terlihat indah serta tanaman-tanaman yang terlihat manja membuatnya bimbang. Ia ingin menikmati malam tapi apalah daya hati tidak tenang.
"Lo ngapain di sini?" dengan suara kesalnya, Nindya bertanya saat ia melirik Bian yang duduk disampingnya sambil menatap langit juga.
Bian tidak menjawab. Ia tidak mau memperburuk keadaan. Tapi, ternyata tindakan Bian justru memancing amarahnya. "Jawab!" bentak Nindya dengan marah.
Bian kaget. Ia baru pertama kali melihat Nindya sebegitu marah padanya. Walaupun Nindya selalu kesal padanya, paling Nindya hanya menggerutu dan mengatai Bian tidak berperasaan. Bian berusaha memaklumi. Ternyata cewek kalau patah hati lebih bahaya dari singa.
"Lo sengaja jadi orang paling diam tapi ternyata lo tahu semuanya."
"Bahkan lo gak pernah ngasih tahu gue kalau Dito kakak lo."
Nindya berdiri membalikkan badannya tidak menghadap Bian. Air matanya jatuh kembali. Bahkan tenggorokannya terasa sakit karena menahan sesenggukan.
"Lo jahat, Bi. Jahat!"
"Lo bajingan!"
Nindya menjatuhkan tubuhny lalu ia memeluk lututnya. "Lo pasti juga tahu tentang perjodohan ini." ucapnya lirih.
"Tapi lo sengaja diam, kan? Lo emang sengaja mau bikin gue menderita."
Bian menghembus nafasnya berat. Tangannya masuk ke kantong celananya. Pandangan Bian ke atas. Melihat langit yang indah. Setelah itu ia berdiri untuk membangunkan Nindya.
"Lepasin! Jangan pegang-pegang!"
Bian tidak menyerah. Ia jongkok di depan Nindya berusaha menyeimbangkan posisinya. Hatinya sakit melihat Nindya menangis.
"Sorry."
"Sorry? Sorry lo bilang?"
"Terus gue harus gimana?"
Nindya menggeleng kepala tidak percaya. Ia heran mengapa di dunia ada manusia seperti Bian yang tidak berperasaan. Apakah ia tidak tahu bahwa Nindya lagi terpuruk?
"Jahat lo!"
Tangis Nindya semakin histeris. Ia tidak pernah menyangka Bian sajahat itu padanya. Bian yang melihat Nindya tidak sanggup berkata-kata lagi. Ia membuka jaketnya untuk menyelimuti tubuh Nindya. Nindya yang merasa tubuhnya dibaluti sesuatu langsung mendongakkan kepala.
"Jangan dilepas," pinta Bian saat Nindya hendak melepasnya.
Bian menarìk nafasnya. Ini saatnya untuk menjelaskan pada Nindya. Bian membenarkan posisinya, menatap Nindya lekat. Seakan-seakan menghipnotis Nindya.
"Pertama, gue gak pengen lo tahu. Dan itu berlaku untuk semuanya."
Bian menarìk nafasnya, lagi. Kemudian ia membuangnya dengan kasar. "Gue gak pengen lo benci gue sama kayak lo benci ke Dito. Gue takut persahabatan kita hancur."
Mata Nindya terus memandangi mata Bian. Ia tidak melihat kebohongan di dalam sana. Justru sebaliknya. Tubuh Nindya kaku. Hatinya setuju pada ucapan Bian. Tapi, tetap saja otak selalu berputar untuk mencari kesalahan.
"Bahkan gue ngekos biar orang-orang gak tahu latar belakang gue."
Mata Nindya membulat. Banyak sekali pertanyaan di otaknya. Tapi, lidahnya terasa pilu untuk memulai. Bian memegang bahu Nindya sambil tersenyum. Tapi, matanya jelas sekali kalau Bian merasa ikut terpukul. "Intinya, niat gue bukan mau ngecewain lo."
"Lo kecewa itu wajar. Tapi, dengan lo gitu buat hati gue sakit, Nin."
Jujur saja, hati Nindya tersentuh. Bahkan rasa sesal menyelimuti dirinya. Seharusnya ia tidak terlalu berburuk sangka pada Bian. Tapi apalah daya Nindya tidak bisa menahan amarahnya.