Tiba di rumah, Nindya langsung menghempaskan tubuhnya di sofa. Tubuhnya terasa sakit semua. Nindya memijat tumit kakinya yang terasa pegal. Memakai high heels sedikit membuat Nindya tersiksa.
"Ternyata kamu udah kenal sama Dito." Andre mengeluarkan suara sambil melepas jasnya lalu melempar di sebelah Nindya.
"Gitu, dong. Kan ayah jadi bangga sama kamu."
Seketika tubuhnya semakin terasa sakit. Nindya hanya diam membisu. Ia sama sekali tidak berniat untuk membuka suara karena ia tahu semua ucapan yang keluar dari mulutnya selalu salah.
"Sejak kapan kamu kenal?"
Hening.
Nindya pura-pura tertidur. Ia malas untuk menjawab pertanyaan Andre apalagi sampai membahas Dito, masa lalunya.
"Nindya?" panggil Andre saat tidak mendengar jawaban Nindya. Andre menoleh kepalanya ke belakang melihat Nindya.
"Ternyata ketiduran," ucapnya sambil menggeleng kepalanya.
"El! Bawa Nindya ke kamarnya."
Rafael yang baru saja masuk ke rumah, langsung menggotong Nindya dengan malas. Nyusahin, batinnya menggerutu.
Sementara Nindya membuka matanya sedikit. Ia mengintip wajah Rafael yang merah. Nindya tahu jelas perihal itu. Biasanya, kalau Rafael menahan amarah pasti wajahnya merah, tapi Nindya tidak tahu apa yang menyebabkan Rafael marah.
Apa jangan-jangan...
"Stop-stop! Turunin gue!" pinta Nindya saat Rafael berhasil menaiki semua tangga itu dengan Nindya yang digotong.
Rafael dibuat kaget oleh Nindya. Cepat-cepat Rafael menurunkan Nindya. Nindya membenarkan gaun dan rambutnya yang sedikit berantakan.
"Jadi lo pura-pura tidur?" tanya Rafael kaget.
"Iya. Karena gue gak mau di interogasi sama bokap. Makanya, jalan terbaiknya ya pura-pura tidur. Kenapa lo nyesel?"
Rafael mengangguk kepalanya cepat.
"Aelah, sama adik sendiri. Dulu juga sering, kan?"
"Itu dulu," jawab Rafael sambil menyilangkan tangannya di depan.
"Apa? Mau bilang berat kalau sekarang?" Nindya sengaja memolototi Rafael sebagai jurus jitu. Ia tidak mau Rafael sampai mengatakan bahwa Nindya berat.
"Iya."
"Sial lo, Bang."
Nindya memukul lengan Rafael keras. Rasanya percuma memolototi Rafael sampai matanya hampir keluar.
"Btw, lo sama Dito sekampus?"
"Hm."
"Kok lo gak pernah cerita?"
"Buat apa?"
Rafael sengaja balik bertanya. Justru ini waktu yang tepat untuk tahu ada hubungan apa antara Nindya dan Dito. Ia ingin rasa penasarannya terbayar.
"Ya gpp, sih. Nanya aja."
Nindya menggaruk telinganya yang tidak gatal. Ia takut terjebak dalam pertanyaannya sendiri. Sementara, Nindya tahu jelas kalau Rafael cepat tangkap.