Bang ayo berangkat. Udah mau telat ini."
"Gue gak ada kampus pagi."
Nindya mengerucutkan bibir lalu berdiri disamping Rafael sambil merengek. "Ayolah, Bang. Cuma dekat kok."
"Iya-iya."
"Yeay!"
Hari ini Nidnya bertekad untuk berdamai dengan takdir. Ia tidak mau membuang waktu dengan larut dalam kesedihan sampai menyalahkan keadaan. Baginya sia-sia dan percuma. Nindya berusah setegar mungkin untuk melupakan hari kemarin, namun tetap mau ambil pelajaran dari apa yang pernah terjadi di hidupnya. Walaupun Nindya sendiri tidak yakin, ia sanggup atau tidak. Setidaknya, Nindya tetap mau berusah untuk memahami keadaan.
Setelah berhasil membujuk Rafael, Nindya langsung memasang sepatunya. Sementara Rafael mengambil kunci motor di atas meja makan dengan ogah-ogahan. Selain malas, tentu Rafael tidak mau dikejar-kejar oleh cewek-cewek di sekolah Nindya. Ketampanan Rafael membuat mereka seperti manusia haus dan gila.
"Kamu berangkat sama Dito dari mulai hari ini sampai seterusnya."
Apa?
Perkataan Andre membuat pergerakan tangan Nindya berhenti. Seketika mood yang ia ciptakan sesemangat mungkin kini sirna. Rafael pun sama kagetnya.
"Gak salah, Yah?" tanya Rafael dengan menyerngit keningnya. Jujur saja, walaupun ia suka malas mengantar Nindya tapi ia tidak pernah sudi adiknya diantar oleh Dito. Apalagi Rafael tidak percaya mengapa Andre langsung percaya pada Dito yang baru kenal semalam.
"Gak, dong. Kan mereka bakal nikah juga. Jadi biar lebih dekat ya harus bareng-bareng."
"Tapi, Yah..."
"Rafael! Gak usah protes! Lagian ngurangin beban kamu juga, kan?"
Rafael diam. Tangannya mengepal lalu keluar tanpa pamit pada orang tuanya. Sementara Dian yang menyaksikan dari dapur hanya mampu diam tanpa kata. Ia tidak akan membuat keadaan semakin panas.
Rafael bertemu Dito tepat di pintu. Tatapan Rafael penuh kebencian. Ia menatap mata Dito lekat lalu ia pergi dengan alis yang menyatu. Kentara sekali bahwa Rafael sangat marah pada Dito.
Dito hanya menyerngit keningnya lalu tersenyum miring.
"Selamat pagi, Om," teriak Dito dari luar.
"Tuh, Nak Dito udah datang."
Nindya memasang wajah datar. Ternyata tidak cukup kemarin perasaannya dipermainkan. Hati Nindya ingin sekali menolak. Namun, Nindya tetap tidak bisa berkutik. Nindya seperti boneka yang lagi-lagi hanya pasrah
Andre menghampiri Dito yang berdiri di depan pintu. Sementara Nindya mengekori dari belakang dengan malas.
"Om gak salah ya share lokasi ke kamu. Ternyata kamu cepat paham."
Tentu saja Dito hafal. Saat mereka berpacaran, Dito sering mengantar Nindya pulang. Hanya saja Rafael, Andre dan juga Dian tidak pernah tahu. Karena Nindya diam-diam dari orang tuanya.
Mendapat pujian itu, Dito hanya tersenyum tipis. Jujur saja, Nindya sangat rindu dengan senyum itu. Senyum yang dimana dulu menjadi kesukaan Nindya.
"Gak mau sarapan dulu?"
"Gak usah Om. Takut Nindya telat," jawab Dito sambil melihat jam tangannya.
"Ya udah ya sayang, kamu berangkat sama Dito hari ini. Belajar yang benar."
Nindya membulatkan matanya tidak percaya. Depan Dito aja manis banget, batinnya menggerutu.
Nindya menyalami tangan Andre dengan malas. Sementara Andre tersenyum bahagia. Tiba di dalam mobil, Dito memajukan tubuhnya untuk mengaitkan seatbelt di perut Nindya, tapi cepat-cepat Nindya mendorong tubuh Dito.
"Gue bisa sendiri."
Dito menjauhkan tubuhnya lalu memasang seatbelt-nya. Setelah merasa aman, Dito membawa mobilnya agak cepat.
"Bisa pelan gak, sih?" tanya Nindya kesal.
"Bisa. Cuma takut kamu telat."
"Kamu-kamu. Udah putus. Gak ada aku kamu," sahut Nindya mengerucutkan bibirnya.
Dito membalas dengan senyum lebar. "Tapi nikah. Gitukan maksud kamu?"
Nindya memutar bola matanya. Kalau dulu mungkin Nindya selalu salting saat Dito menggodanya.
"Ternyata kamu gak berubah ya."
"Lo kira gue bunglon bisa berubah," cetus Nindya dengan melihat keluar.
Dito semakin tertawa. Jujur saja, Nindya rindu dengan tawa itu. Tawa yang membuatnya selalu tenang. Tawa yang menghilangkan semua rasa lelahnya.
"Gak berubah gemasnya."
Lagi-lagi Nindya memutar bola matanya. Lebay.