Nindya menutup mulut tidak percaya.
"Dia selalu ngajak aku ketemu. Dia nyalahin aku karena katanya aku gak becus ngerawat Susi. Itu kenapa persahabatan kita jadi hancur. Karena El belum bisa terima dengan semuanya."
"Kalian bersahabat?"
"Iya."
Fakta itu semakin membuat Nindy terkejut. Sementara air mata Nindya tak sengaja jatuh. Salahkan saja hatinya yang terlalu perkasa. Nindya tak menyangka kisah cinta Rafael berakhir tragis. Bahkan selama Nindya berpacaran dengan Dito, Nindya tidak pernah melihat kedekatan Rafael dan Dito. Apalagi bersahabat. Sebenarnya, Nindya sedikit tidak percaya.
"Kadang aku ngerasa emosi. Makanya aku ikut benci. Kamu tahu sendiri kan kalau aku sebenarnya gak bisa benci sama orang?"
Reflek kepala Nindya mengangguk membenarkan ucapan Dito.Selama Nindya kenal dengan Dito, Dito memang paling tidak bisa membenci siapapun. Mau pun orang itu telah menjahatinya. Makanya, ia memaklumi mengapa Dito bisa ikut membenci Rafael. Tentu alasannya karena Dito sudah lelah di tuduh terus-menerus.
"Tapi yang mau aku bilang bukan itu. Aku nyesal karena hubungan kita berakhir. Aku gak bisa kasih tahu alasannya sekarang. Yang pasti dari dulu sampai sekarang aku masih mencintaimu."
Dito memegang pipi Nindya lembut. Nindya melihat mata Dito yang kentara sekali menyimpan rasa sedih yang amat dalam. "Awalnya aku kaget saat aku tahu ternyata aku dijodohin. Tapi aku bahagia setelah aku tahu orangnya siapa."
Nindya bungkam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Jantungnya berdetak lebih kencang. Nindya tidak tahu dengan perasaannya sendiri. Yang jelas Nindya mulai percaya pada Dito.
"Huh. Aku sebenarnya gak suka ngejelasin panjang lebar gini."
Lagi-lagi Nindya setuju akan hal itu. Faktanya, Dito selalu bertindak ketimbang menjelaskan. Dito tidak suka dengan omong kosong. Menurut Dito, tindakan akan mengalahkan semuanya. Itu mengapa Nindya cinta mati sama Dito.
"Tapi, karena udah berlalu mau gak mau harus aku jelasin. Biar gak salah paham lagi."
"Aku berharap kita bersama sampai tua nanti," lanjut Dito sambil memeluk Nindya erat.
Nindya diam terpaku. Semua kata-kata Dito terdengar tulus. Dari tatapan matanya, cara ia memeluk Nindya. Semuanya semakin membuat Nindya bimbang. Yang jelas saat ini ia tidak peduli Dito berbohong atau tidak. Setidaknya, Nindya bisa berdamai dengan masa lalunya sudah membuat hatinya jauh lebih tenang.
Nindya membalas pelukan Dito lalu ia tersenyum tipis.
"Maafin aku ya karena aku bikin kamu sakit hati."
See? Betapa luar biasanya Dito. Kata maaf itu selalu Dito ucapkan disaat salah ataupun tidak. Jadi, jangan heran lagi mengapa Nindya pernah mencintai sosok Dito sedalam-dalamnya.
"Gpp, udah berlalu."
Setelah itu, mereka melepas pelukan itu. Dito berdiri lalu mengajak Nindya pulang. "Udah yuk, pulang. Kalau lama-lama nanti El makin ngamuk sama aku."
Tanpa sadar Nindya cekikikan dibuatnya. Dito yang melihat itu mengulum senyum. Ia rindu sekali melihat Nindya tersenyum karenanya. Percayalah menahan rindu bertahun-tahun bukan pilihan yang mudah.
Gue akan menjaga senyum itu sampai kapanpun.
*****
"Darimana?" tanya Rafael yang sengaja menunggu Nindya dari luar kamarnya.
Nindya yang melihat Bian berdiri dengan menyilang tangannya seketika menghentikan langkahnya. "Lho, Abang gak ngampus?"
Rafael menggeleng kepalanya.
"Darimana?" tanya Rafael, lagi.
"Dari taman sama Dito," jawab Nindya dengan tenang walaupun hatinya sudah deg-degan.
Rafael menurunkan tangan itu lalu memajukan tubuhnya. Nindya yang kaget langsung memundurkan tubuhnya sampai tertubruk tembok. "Kenapa mau?"