Life for Love

Fatimatuzzahro
Chapter #25

Senyum yang Sempat Hilang

Pagi hari Nindya menyambut hangatnya mentari. Senyumnya tak lepas dari wajahnya. Ia bersyukur pada Tuhan yang telah menciptakan skenario begitu indah. Buktinya, Tuhan baru saja memberikan kekecewaan tapi disaat itu juga Tuhan memberikan kebahagiaan yang justru membuat hati Nindya jauh lebih tenang.

Nindya membereskan tempat tidurnya sambil bernyanyi. Piyama pink yang ia pakai membuat Nindya terlihat semakin lucu. Rambut pendek dengan poni pendeknya juga membuat Nindya lebih terlihat fresh. Matanya melihat jam dinding yang menunjukkan angka enam.

"Gila, gue gak nyangka bisa ubah kebiasaan buruk gue."

Tentu hal itu diluar dugaannya. Bertahun-tahun ia berusaha untuk berubah, tapi siapa sangka dengan seiring berjalannya waktu kebiasaan buruknya itu bisa berubah dengan sendirinya. Entahlah, mungkin dorongan dari temannya juga sangat berpengaruh.

Setelah mengucapkan rasa syukur, ia mengambil handuk lalu masuk ke kamar mandi dengan riang. "Selamat mandi pagi!"

Sementara di ruang makan, semuanya berkumpul untuk sarapan pagi. Dian yang sibuk dengan menyiapkan makanan, Andre sibuk dengan laptopnya dan Rafael asyik dengan ponselnya. Ditengah kesibukan itu, Nindya turun lalu menghampiri meja itu dengan menyapa mereka. "Pagi, guys! Sarapan apa, nih?"

"Pagi," jawab Dian

Mata Nindya terus menelusuri meja makan itu. "Wih, abang makan apa tuh?Kok kayak enak banget," ucap Nindya saat melihat gorengan di depan Bian.

"Eh, gak deh. Aku lagi diet. Itu kan minyak. Bikin gendut."

"Perasaan dulu kamu makan apa aja gak ngomong apa-apa. Gak gendut-gendut juga kamu. Lagian tumben semangat banget pagi ini?" tanya Dian dengan penasaran.

"Emang iya?" tanya Nindya bingung.

Dian mengangguk kepala, lalu memberikan segelas jus buah naga pada Nindya. Tanpa basa-basi, Nindya langsung meminum jus kesukaannya itu.

"Gak biasanya, lho. Biasanya kamu asal copot makan habis itu langsung minta anterin ke sekolah."

"Ibu ini gimana, sih, aku kayak kemarin-kemarinnya salah, sekarang pun di tanyain kenapa begini begitu. Heran deh, anak kok selalu salah gitu."

"Bukan gitu..."

"Udah, Nindya mau sarapan dulu," potong Nindya dengan melanjutkan memakan roti selai coklat.

"Kalian pernah kepikiran gak, kalau ayah meninggal siapa yang paling sedih?"

Seketika semuanya menoleh pada Andre yang matanya tetap fokus pada laptopnya itu. Nindya yang baru saja ingin memasuki roti selai coklat itu langsung berhenti menatap Andre.

"Maksud ayah?" tanya Dian sambil membenarkan posisi duduknya.

Nindya yang mendengar pertanyaan itu, otaknya bertanya-bertanya, ada apa dibalik pertanyaan ayahnya. Tidak ada angin apalagi hujan, tiba-tiba saja Andre berucap demikian.

Sementara anak laki-lakinya itu hanya diam memandang Andre tanpa kata dan menunggu kelanjutannya. Andre menutup laptopnya lalu ia melihat Nindya dan Rafael dengan tersenyum hangat. Jujur saja, mereka rindu dengan senyum hangat Andre.

"Kadang ayah berpikir kalau ayah meninggal apakah kalian akan sedih."

Hati Nindya rasanya sakit sekali, melihat senyum itu yang tiba-tiba berubah sedih. Tiba-tiba saja selera makannya hilang. "Pasti sedihlah, Yah. Lagian ngapain ngomong gitu coba."

Nindya berusaha mengatur nada suaranya supaya terlihat biasa saja. Walaupun dari hati yang paling dalam, hatinya sangat sedih. Karena gengsi, Nindya terpaksa harus berpura-pura santai.

"Ayah, kan, sering marahin kalian," lanjut Andre dengan menatap meja makan itu dengan tatapan kosong.

Nindya menghembus nafas berat. Jujur saja, Nindya memang pernah membenci Andre.Tapi, rasa benci itu tidak bertahan lama setelah ia yakin semua yang dilakukan ayahnya pasti yang terbaik. Memang, awalnya Nindya susah menerima sikap Andre yang menurutnya kasar. Namun, sebagai anak yang ingin berbakti kepada orang tua, ia berusah untuk menerima setiap kekurangan yang ada pada Andre.

"Emang, sih, aku pernah kesal sama ayah. Tapi sama sekali aku gak pernah kepikiran setelah ayah meninggal aku malah hore-hore gitu," ucap Nindya dengan sedikit tertawa berusaha agar suasana tidak setegang mungkin.

Andre hanya mengulum senyum tipis. Saking tipisnya, senyum itu hampir tidak terlihat. "Kalau ayah meninggal, kalian harus tetap jadi anak yang baik, yang nurut sama orang tua. Ayah tahu selama ini walaupun kalian kesal ke ayah atau ke Ibu, tapi kalian tetap berusaha nurut. Maafin ayah, ya."

"Ngomong apa, sih, Ayah. Gak jelas ah."

Lihat selengkapnya