Hari ini mereka menjalankan hari yang cukup baik. Nyatanya, mereka menikmati setiap materi yang disampaikan gurunya. Entahlah, semua kompak seakan-akan sengaja mengawali pagi dengan semangat yang bergejolak. Nindya pun sedikit melupakan suasana hatinya yang sempat cemas karena perkataan Andre di ruang makan tadi.
Sampai akhirnya, setelah bel pergantian pelajaran, Pak Seto langsung memasuki kelas dengan senyum tipis lalu menyapa muridnya dengan suara yang lantang, "pagi anak-anak!"
"Pagi, Pak," jawab mereka serentak.
"Kok semangat banget pagi ini?"
"Iya dong, Pak. Kita kan mau nyanyi," jawab Tama, si ketua kelas.
Nindya mengerutkan keningnya berusaha mencerna kalimat Tama dengan baik. Tentu Nindya merasa ada yang janggal.
Nyanyi?
"Oh iya. Kok gue bisa lupa, sih, kalau hari ini tampil nyanyi," ucap Nindya dengan berbisik pada Laras lalu menepuk jidatnya pelan.
"Lho? Kok bisa lupa?"
"Ya mana gue tahu. Padahal baru kemarin latihan di pantai sama Bian. Kok bisa lupa ya. Kayak udah tua aja gue."
"Lebih tepatnya kayak orang banyak beban aja. Mana Bian sama Shelly gak masuk, lho," sahut Laras yang disampingnya sambil melihat Dimas yang kentara sekali sedang gelisah.
"Bian ngapain, sih, gak masuk segala."
"Maaf, Pak, saya telat."
Mendengar suara yang membuatnya cemas itu, Nindya langsung mendongakkan kepala melihat Bian yang baru saja datang.
"Kenapa kamu bisa telat?" tanya Pak Seto dengan berusaha selembut mungkin.
Yap, pak Seto merupakan satu-satunya guru yang sedikit memanjakan muridnya. Entah mungkin karena beliau guru kesenian jadi seakan-akan beliau memberikan ruang yang luas untuk muridnya. Itu mengapa, pak Seto banyak digemari oleh kaum hawa yang notabene-nya umur pak Seto masih terbilang muda.
"Ketiduran, Pak."
Nindya yang mendengar alasan Bian merasa tidak yakin. Selama ia bersahabat dengan Bian, Bian tidak pernah telat sekolah karena ketiduran. Tapi, ia tidak peduli dengan alasan Bian. Yang penting sekarang Bian sudah menyelamatkan hidup Nindya.
"Oh iya, silahkan perkelompok duduknya sebelahan ya. Supaya gampang diskusinya."
Serentak mereka bangun dari tempat lalu duduk bersama kelompoknya. Termasuk Nindya dan Bian. Bian yang sadari tadi diam di depan, lalu ia pergi ke tempat Laras. Tentunya setelah Laras pergi. Nindya yang duduk sambil menopang dagu dengan sebelah tangannya, melihat Bian aneh. Karena wajah Bian terlihat sangat kusut.
"Muka lo kenapa dah? Kayak baju gak disetrika."
Bian tidak merespon. Tangannya sibuk menyetem gitar agar suara gitar tidak fals. Nindya menghadap Bian lalu matanya tetap menatap Bian dengan curiga. Seharusnya Nindya tidak peduli. Namun, hatinya memaksa Nindya untuk bertanya. Sekuat mungkin Nindya merapatkan bibirnya supaya tidak sampai mengeluarkan pertanyaan yang membuat Bian besar kepala.
"Bi, lo kenapa?"
Percuma Nindya berusaha menutup bibirnya rapat. Nyatanya, bibirnya tetap tidak mau bekerja sama. Setelah bertanya demikian, Nindya langsung berkata, "kalau gak mau dijawab gpp."
"Tapi gue kepo."
Tidak. Nindya sudah menyerah. Bodo amat. Emang nih bibir gak bisa diajak kompromi, batinnya dengan kesal.
Bian yang selesai menyetem gitarnya, lalu menoleh kepalanya dengan tatapan yang datar. "Udah hafal lirik?"