Bel istirahat berbunyi. Nindya langsung berdiri lalu menyuruh Bian untuk menyingkir. Langsung saja Bian menyingkir tanpa menunggu disuruh dua kali. Tentu saja Bian merasa ada yang aneh dari Nindya. Padahal, sebelum tampil tepatnya setelah Bian memegang tangan Nindya, mood Nindya sudah membaik.
Sementara Dimas yang melihat Nindya langsung pergi tanpa mengajak mereka ia berkata, "lho-lho, anaknya langsung ngacir masa."
"Emang cewek suka gitu ya? Perasaan tadi biasa aja. Sekarang malah kayak lagi dikejar setan."
Laras yang mendengar Dimas mengomel, ia menjawab, "daripada cowok yang suka ninggalin."
Mendengar jawaban Laras yang terkesan menyindir, Dimas langsung senyum jail. "Cie siapa tuh? Pernah ditinggalin ya."
"Yang pasti cowok."
"Gue gak, tuh. Buktinya masih setia sama Melly. Masih belum ada niatan ninggalin juga."
"Sekarang iya. Siapa tahu kalau lo udah nemu yang lebih bikin nyaman, yang lebih cantik, lebih aduhai."
"Gak boleh suuzan, lho, Ras. Gak boleh mandang cowok dari satu pandang doang. Lo harus lihat orang yang setia, biar otak lo tuh gak negative thinking."
"Terserah lo dah. Gak bakal menang kalau debat sama lo."
Dimas langsung menyerngit kening mendengar jawaban ketus Laras. "Siapa yang ngajak debat, sih? Gue kan ngasih tahu yang benar. Biar otak lo itu isinya positif."
Laras langsung melempar Dimas dengan pulpen.
"Sakit, Ras," keluh Dimas saat pulpen itu mencium jidatnya yang lebar.
"Hahaha, mampus."
Sementara Bian langsung menyusul Nindya di kantin. Ia sangat yakin Nindya pergi ke kantin. Jadi, langsung saja Bian ke sana tanpa berpikir panjang.
Tebakan Bian benar. Buktinya, Nindya sedang duduk sambil bermain ponsel di meja yang sudah biasa mereka tempati. Langsung saja Bian menghampiri Nindya dengan memasukkan tangannya di kantong celana seragamnya.
Nindya yang merasa ada sosok yang mendekat, langsung mendongak kepala. "Ah lo ternyata. Ngapain di sini?" tanya Nindya dengan ketus."
"Makanlah."
"Oh."
Setelah itu Nindya menundukkan kepalanya lagi. Sementara Bian tetap menatap Nindya dengan wajah datar dan tak lupa lengan yang menyilang di depan dada.
Awalnya Nindya berusaha tidak peduli. Namun, Nindya risih ditatap demikian. Nindya menaruh ponselnya lalu mendongakkan kepala menatap Bian balik. Alhasil, mereka saling tatap. Bedanya, Bian dengan wajah datarnya, sementara Nindya mengatup bibirnya rapat-rapat sampai-samapi terlihat lesung dibawah bibirnya.
"Apa? Lo mau ngomong apa?" tanya Nindya dengan ekspresi yang sama.
Bian terus menatap Nindya. Sekan-akan menyuruh Nindya untuk membaca tatapannyam. Sementara Nindya yang merasa lelah, membuang nafasnya kasar. Kemudian ia kembali menunduk. Ia tidak peduli lagi dengan Bian yang menatapnya. Gue colok matanya, tau rasa lo, batinnya.
"Kalau mau nanya, nanya aja. Jangan kayak singa mau nerkam."
Rasanya percuma Nindya bertanya sampai mulutnya berbusa. Cepat-cepat ia mengelus dada agar emosinya terkontrol. Walaupun sebenarnya Nindya ingin sekali membunuh cowok yang duduk di depannya itu.