Memang, ketika waktu ditunggu akan terasa lebih lama. Seperti saat ini mereka menunggu jam bel pulang, namun waktu seakan-akan sengaja berjalan lebih lambat. Sementara Nindya yang menunggu sampai perutnya melilit. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan Shelly dan menanyakan alasannya.
Mungkin bukan Nindya saja yang merasa demikian. Nindya yakin semua orang kalau menunggu sesuatu, pasti perutnya melilit dan rasanya ingin buang air besar.
Kring...kring...kring...kring...
Akhirnya, batin Nindya dengan lega.
Setelah gurunya keluar, Nindya langsung bangun dari tempat duduknya. Begitu pun dengan Laras dan Dimas. Sementara Bian masih memasukkan buku pelajarannya dengan santai dan tatapan kosong. Rasanya ia seperti tidak mempunyai semangat hidup lagi.
"Bi, ayo cepat!" suruh Nindya dengan membenarkan poninya yang sedikit keluar dari topinya.
Bian tidak menggubris. Justru Bian semakin memperlambat gerakannya. Tentu hal itu membuat Nindya semakin kesal pada Bian. Buru-buru Nindya merampas buku pelajarannya dan memasukkan ke ransel Bian dengan kasar. Ia tidak peduli dengan halaman buku Bian yang terlipat.
"Gitar lo biar gue yang bawa. Sekarang kita berangkat," ucap Nindya sambil membawa gitar Bian.
"Gue tunggu di parkiran."
Setelah itu, Nindya langsung keluar kelas di ikuti oleh Dimas dan juga Laras yang sadari tadi hanya menyaksikan Nindya yang kentara sekali bahwa sedang kesal pada Bian. Lagi-lagi Bian diam tak berkutik. Seketika semua otot-ototnya terasa kaku. Sesekali ia mengepal tangan berusaha menahan segala rasa khawatir dan amarahnya.
Gue belum siap, batin Bian.
Hidup memang terkadang membuat kita bingung, saat kita merasa ingin dunia tahu, tapi hati takut menerima kenyataan. Seberapa besar menolak, kenyataan akan terungkap tanpa direncana, tanpa diduga.
Sementara Nindya berlari dengan cepat untuk tiba di parkiran. Dimas mengikuti dengan ngos-ngosan. Begitu pun dengan Laras yang sambil membenarkan kacamatanya. Mereka seperti dikejar maling saja. Tentu hal itu membuat sekitarnya yang melihat mereka mengerutkan kening. Ada juga yang marah karena tidak sengaja Nindya tabrak.
Tiba di parkiran, ia mengatur nafasnya yang tidak beraturan. Kemudian ia mengambil air di kantong samping ranselnya. Setelah itu meminum air itu dengan berjongkok. Dimana pun Nindya berada, Nindya selalu ingat bahwa minum harus duduk. Tapi karena lantai itu sedikit kotor, terpaksa ia jongkok
"Lo bisa gak, sih, kalau gak lari-lari," omel Dimas setelah berhasil mengejar Nindya sambil memegang lututnya.
Nindya melirik Dimas sekilas, lalu bertanya, "Bian mana?"
"Gak tahu," jawab Dimas ketus. Mungkin kalau Dimas tidak ingat bahwa Nindya cewek dan sahabatnya, Dimas tidak akan segan-segan untuk memarahinya. Untungnya, Dimas menyayangi Nindya. Tentu rasa sayang pada sahabat yang sudah Dimas anggap seperti saudara.
Nindya menunggu Bian dengan tidak sabar. Sesekali ia melihat jam dipergelangan tangannya dan tak lupa Nindya bolak-balik bak setrika.
"Nin, udah sih tenang. Paling entar lagi sampai."
"Iya, Nin, gue setuju sama Dimas. Kita tenang aja. Biar gak makin cemas."
Nindya tetap tidak bisa tenang. Tentu ia sangat cemas karena Shelly yang tiba-tiba keluar dan tanpa kabar. Menurutnya, kehilangan sahabat yang sudah menjadi keluarga ke dua tidaklah enak. Sebenarnya, Dimas dan juga Laras merasa demikian. Hanya saja Nindya terlalu over reactive.
Ditengah Nindya menunggu dengan kesal, Bian datang sambil berjalan dengan santainya. Seolah-olah tidak ada yang menunggu. Nindya yang melihat Bian, seketika langsung menghampiri dan menarik Bian paksa. "Jalan tuh jangan SelowMo. "Udah tahu buru-buru malah kayak kura-kura. Bisa tahun depan sampainya."
Bian hanya bisa pasrah diperlakukan demikian oleh Nindya. Wajahnya sangat polos seakan-akan tak seperti orang yang tak berdosa. Sementara Dimas yang tadinya ikut kesal karena Nindya yang tidak sabar, seketika cekikikan. Menurutnya, Nindya persis sekali seperi ibu-ibu yang menarik paksa anaknya karena bermain sampai larut malam.
"Sana nyalain motornya cepat."
"Sabar dong, Nin. Jangan ditarik-tarik gitu. Malu dilihatin sama yang lain," ucap Laras dengan memegang lengan Nindya, lalu menunjuk sekitarnya dengan dagunya.
Nindya melirik sekitarnya tidak peduli. Kemudian Nindya langsung mengambul helm dan memakainya. " Lo bonceng Laras, Dim. Awas lo pelan-pelan bawa motornya. Biasanya lo suka ngebut anaknya. Kalau celaka bisa berabe."
Dimas yang sedang mengaitkan tali helmnya, memutar bola matanya malas. "Iya-iya. Ibu satu ini sangat bawel rupanya."
"Biarin. Biar gak lo doang yang bawel."
"Dendam banget jadi orang," jawab Dimas berbisik, supaya Nindya tidak mendengarnya.