Dari sekian banyak pertanyaan di otak Nindya, satu kalimat Endi terngiang-terngiang di kepalanya. "Mending kalian pulang dulu. Tunggu sampai Shelly tenang."
Tentu Nindya semakin penasaran. Sejauh ini, Nindya pribadi belum merasa melakukan kesalahan pada Shelly. Nindya yakin, Dimas dan Laras juga tidak. Sementara Bian... jujur saja, Nindya memang tidak begitu tahu seberapa dekat mereka. Tapi, reaksi Bian jauh dari kata normal, seakan-akan Bian berada dalam masalah itu. Awalnya, Nindya tidak ingin mencurigai Bian. Apalagi ia malas pada Bian yang sudah membuatnya kesal seharian.
Saat ini mereka memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Tentunya, Bian dan Dimas mengantar dua cewek itu pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan, Nindya terus memandang punggung sosok di depannya. Sosok pendiam yang misterius.
"Lo mau bawa gue kemana?" tanya Nindya dengan meninggikan suaranya, saat ternyata ia melihat bahwa jalan itu bukan jalan menuju rumahnya.
Bian terus membawa motornya dengan santai. Sementara Nindya tidak berniat untuk bertanya lagi. Tentu Nindya tidak khawatir Bian akan menyuliknya. Sekesal apapun Nindya pada Bian, Nindya tetap mempercayai sahabat yang seperti tembok itu.
Ya. Kali ini Nindya tidak peduli pada apapun yang berhubungan dengan Bian. Otaknya terus memutar berusaha menjawab tanda tanya tentang Shelly. Ia ingat sekali, saat Nindya meminta pendapat tentang fashion-nya, pasti Shelly orang pertama yang antusias membantu. Shelly banyak membantu Nindya, walaupun pada akhirnya, Nindya tetap berpenampilan yang menurutnya bagus.
Selain itu, Shelly menjadi salah satu yang bisa menghidupkan suasana. Suara cemprengnya, rasa percaya dirinya, terkadang membuat Nindya sedikit iri.
"Turun."
Nidnya yang berada dalam lamunan, seketika langsung mengerjapkan matanya saat mendengar suara Bian yang terdengar keras.
Matanya melihat sekelilingnya lalu tersenyum tipis. "Oh, lo bawa gue ke kafe?"
"Boleh, deh, lumayan gue lagi pusing. Kepala terasa mau pecah."
Nindya langsung saja turun dari motor Bian, lalu seperti biasa, Nindya meninggalkan Bian dan memasuki kafe itu dengan memegang tali ranselnya. Sementara Bian menggelengkan kepala. Kemudian ia memasuki kafe itu dan disambut oleh Barista dengan menunduk kepala dan tersenyum.
"Hari ini pengunjung sedikit," ucap Barista itu yang menggunakan kemeja lengan hitam dan celemek berwarna coklat muda.
"Gpp."
Setelah itu Bian berjalan beriringan bersama Barista itu. Nindya yang duduk tidak jauh, langsung mengerutkan keningnya. "Ngapain Bian disitu? Ih, si Bian kok sksd banget, sih."
Matanya terus menatap Bian yang terlihat serius. Karena tidak sabar, ia berdiri ingin menyusul Bian dan menariknya untuk duduk. Tapi, matanya membulat saat ia melihat Bian yang memencet tombol mesin espresso dengan lihai. Kaki Nindya semakin membawa Nindya dengan cepat. Nindya melihat gerakan tangan Bian menghias kopi di cangkir itu dengan cantik.
Barista di samping Bian itu melihat Nindya lalu menghampirinya. "Pesan yang rasa apa mbak? Kami menyediakan banyak rasa. Mbak bisa membaca di menu ini."
Nindya tetap tidak menoleh pandangannya dari Bian. Sementara Barista itu melihat Nindya dengan bingung. Kemudian ia memanggil Bian dengan dahi yang mengkerut.
"Sob."
"Ha?"
"Ini...."
Bian langsung mendongakkan kepala. Tentu ekspresi Bian tidak seterkejut Nindya. Cepat atau lambat Nindya akan mengetahui profesinya.
"Lo Barista, Bi?" tanya Nindya dengan mulut yang masih menganga.