Jujur saja, Nindya terkejut mendapat kalimat itu keluar dari mulut Bian. Tapi setelah itu Nindya tertawa menganggap ucapan Bian hanya candaan semata. Bian pun juga tidak berusaha meluruskan. Ia terus saja membawa motornya, walau sadari tadi Nindya hanya diam. Bian yakin, Nindya pasti bingung dengan ucapannya.
Tiba di rumah, Nindya turun dengan otak yang masih penuh dengan tanda tanya. Tubuhnya pun terasa kikuk. "Mmm.. makasih udah nemenin, udah nganterin, udah dengerin cerita gue juga."
"Sama-sama."
Seketika mereka sama-sama diam. Seakan-akan saling menunggu siapa yang akan mulai berbicara. Karena tidak ada tanda-tanda Bian akan membuka suaranya, Nindya bertanya, "tadi lo serius?"
Bian diam, lalu ia tersenyum menatap Nindya yang kentara sekali sedang grogi.
Ya Tuhan, perasaan apa ini, batin Nindya.
"Masuk," pinta Bian mengalihkan pertanyaan Nindya.
"Tapi..."
"Udah malam."
Nindya membuang nafasnya kasar. Pada akhirnya, semuanya berakhir tanda tanya. Entah, Nindya bingung mengapa hidupnya sering sekali dipenuhi dengan tanda tanya. Walaupun rasa penasaran Nindya sangat memuncak, Nindya memilih untuk tidak memaksa Bian menjelaskan. Toh, Nindya tidak mau kelihatan besar kepala.
Nindya pun berjalan dengan wajah kusut.Tapi, di saat Nindya ingin membuka pintu, Nindya mendapati sebuah kotak hitam persegi panjang di depan rumahnya.
"Bian!" panggilnya dengan menaikkan sedikit oktaf suaranya.
Bian yang baru saja mau mengaitkan tali helmnya, langsung menghampiri Nindya saat namanya dipanggil.
"Ini apa ya?" tanya Nindya yang masih terus menatap kotak itu dengan takut.
"Buka aja."
"Takuuut."
Bian dengan ragu mengambil kotak itu. Namun, demi Nindya, rasa ragunya itu terpaksa dibuang jauh supaya terlihat gantle. Setelah menggoncangkan kotak itu yang ternyata sangat ringan sekali baru Bian membukanya dengan hati-hati. Nindya pun menunggu dengan cemas.
"Kertas lagi?"
Bian mengangguk kepalanya. Tatapannya masih fokus pada kertas yang dilipat itu.
"Bi, jangan bilang ini surat ancaman lagi," lanjut Nindya dengan panik. Tak terasa pun tubuhnya mendekat pada Bian mengintip isi kotak itu denga memicingkan matanya.
"Itu apa merah-merah? Basah gak?lanjutnya lagi dengan menjauhkan tubuhnya karena takut.
"Itu kayaknya darah."
Nindya semakin cemas. Sementara Bian membuka lipatan kertas yang dipenuhi dengan darah itu dengan pelan-pelan. Sementara Nindya jijik karena aromanya yang sedikit amis. Bian membulatkan matanya saat membaca kalimat yang tertulis di kertas itu.
"Ini darah bokap nyokap lo. Semua Karena ulah lo yang masih berani dekatin milik gue."
Nindya yang melihat ekspresi Bian terkejut langsung bertanya, "apa katanya?"
Bian menyodorkan kertas itu dengan ragu. Sementara Nindya langsung membacanya. Hal pertama yang ia rasakan adalah ototnya seperti tidak berfungsi lagi. Sekujur tubuhnya terasa lemas. Dunia pun terasa berhenti seketika, seakan-akan mencekam seluruh tubuh Nindya sampai susah untuk bernafas.
Nindya tidak sanggup menopang tubuhnya sendiri sampai-sampai ia tersungkur ke bawah. Bian langsung membangunkan Nindya yang wajahnya sudah dipenuhi dengan air mata. "Bokap nyokap gue, Bi," tangisnya dengan histeris.