Pergi malam-malam ke sekolah seorang diri bukan ide yang bagus. Kali ini Nindya ingin menarik semua ucapannya bahwa ia sangat penasaran dengan hantu di sekolahnya, apalagi antusiasnya untuk uji nyali. Nyatanya saat ini Nindya sangat merinding dan lututnya bergetar hebat.
Senter ponselnya tetap nyala. Untungnya baterai nya masih penuh. Kalau tidak, Nindya tidak bisa membayangkan ponselnya mati, sementara ia harus menelusuri dengan gelap dan hanya bisa meraba dengan tangan. Nindya berjalan dengan cepat, ia sudah tidak sabar ingin menemui orangtuanya. Namun, rooftop sekolah itu sangat jauh. Tempatnya berada di lantai paling atas yang dimana lantai itu jarang sekali di kunjungi dan hanya terdapat gudang di sebelahnya. Nindya yakin, aura horror-nya pasti sangat besar. Seketika bayangan sosok seram muncul di otaknya. Nindya memukul kepalanya, mengusir bayangan itu. "Gak boleh takut," ucapnya dengan menguatkan diri sendiri.
Sesekali ia terkejut saat ada kucing hitam yang melewati dirinya. "Ya Allah, ngagetin aja," ucapnya dengan terkejut. Tapi dipastikan suaranya tidak keras.
Tiba di lantai atas, Nindya berhenti sebentar lalu ia menghembus nafasnya kasar. Harus berani, batinnya.
Setelah menguatkan tekadnya, serta membangunkan nyali yang sempat hilang karena terlihat begitu gelap dan aura yang mencekam, hatinya terus berdoa meminta perlindungan. Nindya berjalan seperti robot, sama sekali tidak berani menghadap kanan kiri. Tatapannya tetap kedepan, fokus melihat pintu rooftop itu.
Sebenarnya yang paling ditakutkan bukan makhluk halus, melainkan sosok nyata yang takutnya diam-diam menyelakainya. Tentu hal itu di luar rencana mereka. Oleh karena itu, Nindya berjalan dengan waspada, berjaga-jaga agar tidak ada serangan tiba-tiba.
Keringatnya pun mulai bercucuran, ditambah Nindya memakai topi. Rasanya keringat itu semakin berkumpul di kepalanya. Tapi, kali ini bukan soal keringat yang akan kita bahas, melainkan petualangan untuk menyelesaikan teka-teki serta tanda tanya yang tak kunjung terpecahkan.
"Akhirnya," ucapnya setelah tiba di depan pintu. Kemudian ia mengelap keringatnya dengan lengan.
Nindya membuka pintu itu dengan ragu. Sama sekali ia belum tahu seperti apa rooftop itu. Hanya saja Nindya pernah melihat dibalik pintu, itu pun bersama Dimas saat mereka disuruh membawa kursi yang rusak di gudang sebelahnya.
Hak pertama yang Nindya rasakan adalah adem. Ya, tentu saja, setelah Nindya melewati perjalanan tanpa angin sedikit pun. Nindya terus melihat sekitarnya, mencari keberadaan Andre dan Dian.
"Akhirnya lo datang juga."
Mendengar suara itu Nindya langsung membalikkan tubuhnya kebelakang. Matanya membulat saat ia tahu siapa yang di hadapannya itu yang sedang tersenyum miring. Wajahnya bukan lagi seperti sosok yang dikenal selama ini. Nindya menutup mulutnya tidak percaya. "Shelly?"
"Jadi selama ini..."
"Iya, gue orangnya."
Air mata Nindya pun tidak bisa dibendung lagi. Seseorang yang selama ini menjadi sahabat, ternyata adalah dalang dari semua penderitaan Nindya. "Kenapa lo lakuin ini?" tanya Nindya dengan lirih.
Shelly tersenyum miring, tubuh Nindya pun menjauh sementara Shelly semakin mundur. "Karena lo udah ngambil milik gue!"