Bagai malam tanpa cahaya, bagai hujan tanpa mendung, semua terasa mengejutkan dan tiba-tiba. Kali ini bukan hujan, apalagi mendung. Tapi, mata Nindya yang sadari tadi terus mengalir. Ya, sekarang Nindya tahu dibalik alasan mengapa Shelly selalu cemberut saat Nindya dekat dengan Bian. Alasan yang sama sekali tak pernah terbesit di otaknya.
Jujur saja, terbesit Bian suka Nindya pun, rasanya tidak memungkinkan. Bahkan Nindya justru berpikir sebaliknya. Ia selalu mengira Bian tidak menyukainya karena yang selalu merepotkan. Air mata Nindya pun jatuh semakin deras.
"Maafin gue. Sama sekali gue gak pernah tahu. Gue kira kita benar-benar sahabat yang tidak melibatkan cinta. Kalau seandainya gue tahu lo suka sama Bian, pasti gue bantu, Shel," jawab Nindya dengan lirih.
"Telat. Semua udah jadi bubur."
"Gak ada yang telat, Shel. Gue bantu lo untuk ngambil hati Bian. Gue janji."
Shelly menggeleng kepala, lalu berkata, "saat ini gue cuma pengen lo MATI!"
Shelly semakin memajukan tubuhnya. Sementara pisau sudah siap untuk ia ditancapkan. Nindya sudah pasrah. Kalau dengan ia mati membuat sahabatnya bahagia, maka biarlah ia mati. Mungkin dengan begitu sahabatnya itu puas dan rasa sakitnya terbayar.
"SHEL, JAUHIN PISAUNYA!"
Dito berteriak dari sana. Tentu hal itu di luar rencananya. Begitu pun dengan Laras yang sama kagetnya. "Jangan, Shel. Nindya udah minta maaf."
"DIAM KALIAN! TUGAS KALIAN PEGANG ORANG TUA ITU DENGAN BECUS!"
"Nak, Tante mohon, maafin Nindya. Kalian sahabat, Tante yakin semua bisa diselesaikan dengan baik-baik."
"Iya, Nak. Tolong, kasihanilah Nindya," sahut Andre dengan memohon.
"Gak bisa lagi, Om. Kesabaran saya sudah habis. Nindya harus cepat mati!"
Dito berlari mencegat tangan Shelly yang memberi ancang-ancang untuk menusuk dada Nindya. "Shel, lepasin. Lo bisa dipenjara."
"Lebih baik gue mati dipenjara, asal gue udah bunuh dia biar gue tenang, Dit."
Shelly terus saja memberontak, sementara Nindya masih diam. Sama sekali ia tidak berniat untuk menyelamatkan dirinya. Ya, kenyataan membuatnya pasrah.
"Nin, pergi! pinta Dito.
Nindya mendongakkan kepala lalu tersenyum pada Shelly. "Gue gpp mati, kalau sahabat gue bisa bahagia."
Shelly sempat luluh, tapi cepat-cepat ia menepis rasa kasihannya. Tangannya pun semakin memberontak, berusaha melepas genggaman Dito. "Dit, lo minggi, atau lo yang gue bunuh!"
"Shel, ini bukan tujuan kita," bentak Dito tepat di wajah Shelly.
"Apa?! lo sekarang mau bantu Nindya, gitu?"