Lima Tahun Kemudian
"Sayang, kamu gimana, sih jagain Tiara gak benar. Masa Tiara sampai nyungsep begini," protesku pada suamiku lalu aku menggendong anakku yang hanya anteng. "Duh cup-cup, anak mama baik banget ya, nyungsep aja gak nangis."
"Tadi lagi nge-war bentar," jawab suamiku yang masih sibuk dengan ponselnya.
"Ah, kamu mah Mobile Legends terus. Baru aku tinggal ke dapur bentar."
Aku menunggu suamiku berbalik badan. Tapi, tetap saja tangannya masih asyik memencet layar ponselnya dengan ganas. "Udah ih mainnya. Dari tadi, lho."
"Nanggung, Sayang."
"Oh ya udah, aku marah, nih," ancam yang sudah menjadi senjataku selama satu tahun menikah dengannya.
Langsung saja suamiku menaruh ponselnya dan menatapku dengan senyum manisnya. "Iya-iya ampun."
"Gitu, dong, Bian sayangku."
Yap, pada akhirnya aku menikah dengan sahabatku sendiri, seseorang yang dulunya sangat amat membuatku kesal setengah mati. Tentu banyak lika-liku yang kita jalani, seperti membuat ibu dan abangku yakin akan hubunganku. Keluargaku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi pada hidupku lagi, seperti Dito yang pada akhirnya aku tahu bahwa hatinya tidak sebaik yang kutahu.
Baiklah, akan aku meceritakan mengapa aku dan Bian bisa bersama. Tentunya hal ini bukan sesuatu yang mudah untuk aku ceritakan, apalagi aku yang memilki trauma 'lagi' tentang percintaan. Hanya saja, Bian selalu meyakinkan aku untuk membuka lembaran baru bersamanya.
FLASHBACK ON
Saat ini Nindya berada di taman rumah Bian, tentu setelah merayakan kelulusan dan mengadakan acara bbq di rumah Bian. Secara fasilitas rumah Bian mencukupi.
Nindya dan Bian duduk bersebelahan, mereka sama-sama diam seakan-akan menunggu siapa yang akan memulai percakapan.
"Lo gak mau ngomong, Bi?" tanya Nindya dengan kikuk.
"Mau ngomong apa?" tanya Bian balik sambil memotong steak-nya.
"Tentang perasaan lo."
Ya, sejak insiden pada saat itu, mereka berdua sama sekali belum pernah membahas hubungan mereka. Hubungan persahabatan, yang tidak seperti sahabat lagi, melainkan hubungan yang tanpa status. Namun, mereka berdua sepakat saling menjaga.
"Bukannya sudah jelas?"
Nindya menyerngit keningnya tidak mengerti. Sama sekali Nindya belum mendapatkan kepastian yang jelas. "Apanya yang udah jelas?"
"Hubungan kita."
"Maksud lo?"
"Gue suka lo, Nin."
Nindya sudah tidak terkejut dengan pengakuan Bian. Sementara Nindya sudah pernah diberitahu oleh Shelly. Hanya saja Nindya ingin kata-kata itu keluar dari mulut Bian langsung.
"Gue suka sama lo dari awal kita SMA."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Bian langsung menghadap ke samping, memandang Nindya dengan tatapan yang serius.
"Jujur, yang ngenalin lo ke Dito itu gue. Entah gimana ceritanya, tiba-tiba Dito suka sama lo. Dan saat kalian dekat tiba-tiba jadian, sakit banget."
Bian menarik nafas lalu membuangnya dengan kasar. "Tapi, gue bisa apa? Pada saat itu kita sepakat untuk bersahabat. Otomatis gue gak berani untuk nyatain perasaan gue dengan tujuan gak pengen persahabatan kita hancur."
Nindya sedikit tersentuh mendengar penjelasan Bian yang begitu tulus. Ia mengorbankan perasaannya untuk membuat Nindya bahagia. Nindya masih terdiam. Menunggu Bian mengakhiri penjelasannya.
"Gue cuma takut gak bisa bikin lo bahagia."
Kalimat itu kalimat yang sama sekali jarang di ucapkan seorang laki-laki, yang biasanya laki-laki berbondong-bondong untuk bilang 'aku siap bahagian kamu', tapi Bian berenda. Jujur, hatinya sangat tersentuh sekali.
"Tapi gue masih takut jalin hubungan lagi," jawab Nindya tak berani menatap Bian.
Bian mengambil tangannya Nindya. Mengelus punggung tangan itu dengan pelan, seolah-olah Bian mentransfer energi ketulusannya.
"Kita lalui secara perlahan, tapi pasti. Gue mungkin gak bisa kayak Dito yang pintar merangkai kata manis, tapi gue pastiin selagi Tuhan masih mengizinkan gue bertahan, maka perasaan gue tetap buat lo."
Bagaimana mungkin Nindya tidak bisa meleleh. Bahkan, tubuh Nindya pun terasa lemas mendengar ucapan Bian yang terdengar serius.
"Gak usah di jawab, biar waktu yang membawa kita ke kepastian."
Nindya tersenyum menatap Bian yang juga ikut tersenyum. Tatapannya lembut, semuanya seakan-akan seperti sutera. Perlahan, Nindya sadar akan perasaanya yang juga mencintainya.
FLASHBACK OFF