Belum habis cinta yang diberi, betul sudah waktu mengakhiri cinta yang seharusnya memang pergi sedari dulu. Ia merasa seperti tak sadar diri karena telah menunggu lelaki yang dikasihinya punya bentuk rasa yang sama. Karena seharusnya ia sadar, rupa yang menawan setetes air yang sejuk pun ia tak punya, apalagi bentuk tubuh yang molek. Betul memang kata setiap orang dan seharunya begitu pula ia percaya dengan kata kebanyakan orang itu. Bahwa cinta memang memandang.
"Bisa kamu buang rupamu yang jelek itu dari pandangku? Air mukamu selalu menyebalkan untuk dilihat. Tidak usahlah, cari-cari perhatian depanku lagi. Seperti tak punya harga diri, ganjen dan genit sekali,"
Belum selesai lagi langkahnya, perempuan dengan baju merah putih dan rambut yang ia kuncir kuda itu berhenti tepat didepan anak laki yang tadi tetiba buka suara didepannya. Nampak sekali air muka anak laki itu seperti ingin memuntahkan segala isi perutnya. Besar juga hatinya, sampai ia mengatakan itu pada seorang perempuan yang bahkan bicara mengenai perasaan didepannya saja tidak pernah.
Anak laki itu melenggang pergi, sedang perempuan itu terdiam sambil menyerna baik-baik apa yang ia dengar. Tapi aku tidak pernah mengejar laki-laki itu walau aku menyukainya. Tidak pernah mencari perhatiannya. Walau aku memang jelek, tapi aku tidak genit apalagi ganjen. Apakah suka adalah bentuk dari kegenitan dan keganjenan?
***
"Yang paling jelek diantara kita, siapa?
"Tak lain dan sangat betul sudah, jawabannya Nitisara!"
"Jikalau yang paling bodoh?"
"Nitisara lah yang layak menang dapat penghargaan itu,"
Sayat-sayat didadanya yang kembali basah merasa sudah biasa, biasa bisa ia tangani dengan sabit dibibirnya. Cermin didalam kamarnyalah yang membuatnya terbiasa. Penyelamat hidup memang sering-sering bercermin. Tak perlulah rasanya aku akan marah, karena benar dan tak salah sedikitpun yang mereka katakan. Aku sering melihatnya dicermin, Nitisara si manusia jelek dan bodoh. Tak layak tuk dapat pengakuan hidup dibumi. Pun daku sadar betul akan hal itu.
Tengah mereka senang betul tertawa dan tak puas, satu diantara mereka angkat suara. "Sudah, kasihan. Tak tega hati liat ia hanya tersenyum, besok ia marah, baru tau rasa,"
"Sar, kita bercanda, lah," jedanya seperkian detik, "Tak usah kau dengar dengan hati, cukup dengan telinga, lalu berkaca,"
Nitisara tak sanggup mengeluarkan kata apapun, lagi lagi senyum itu keluar. Sedang dengan paksanya, ia bicara, "Iya, tau, aku tidak marah. Lagipula, bagaimana aku marah, jika hal tersebut adalah benar adanya?"
Nitisara memang akan menang dalam berpura-pura senang dan riang, karena ia selalu berhasil benar-benar terlihat seperti sedih tak ada dimata hatinya. Tetapi ketika itulah juga, Nitisara pamit untuk pulang dahulu, dikarenakan perempuan dengan gamis ungu yang memanggil namanya dari kejauhan itu sudah tak sabar rupanya membawa pulang putri pertamanya dan juga yang berstatus anak keduanya.