Ia menuang air pada gelasnya, hingga di teko itu sisa sedikitpun tak terlihat. Perempuan dengan segala-galanya tak sempurna itu melangkahkan kakinya menuju kearah bilik yang berjarak lima meter dari dapurnya.
Telah sampai ia didalam bilik yang bernuansa putih, diduduki lah tepi ranjangnya, lalu ia meneguk isi dalam gelas yang ia bawa itu. Belum ia taruh gelasnya, sudah tertariknya pada ponsel yang bergetar tanda pesan masuk. Segera lah ia meraih ponsel yang ada diatas ranjangnya itu. Sudah itu, Nitisara buka pesan dari nomor yang tak ia tau siapa pemiliknya.
"Sar, nonton film dirumah Risa yuk," begitu isi pesannya. Makin dibuat bingung Nitisara, siapa yang benar-benar kirim pesan seperti itu padanya. Jika temannya, mana mungkin. Hendaknya ia sudah tau, Nitisara adalah anak yang tak suka dikekang, dituntut dan diatur tapi padanya kebebasan satu hari pun ia tak punya dalam hidupnya. Tak ada yang peduli soal itu memang, sekalipun teman yang tiap hari bersenda gurau dengannya. Tapi tak peduli Nitisara juga, oleh karena ia tau, seberapapun ia jelaskan pada temannya, hanya akan dapat kata, Nitisara pembong paling besar, jikalau tak mau main ya bilang saja. Tak usah bawa tidak dapat izin dari orangtua.
Memang dunia yang telah benci pada Nitisara, atau Nitisara saja yang selalu punya alasan untuk menyebut dirinya sebagai pembenci kehidupan. Sedang lain hal, memang saat nyata semua orang membencinya, atau hanya menuntutnya untuk jadi sempurna. Padahal dengan sebenar-benarnya, Nitisara pun enggan berteman dengan seseorang dengan melihat nasibnya. Ia tak menuntut apapun, ataau karena ia cuma manusia dibawah, yang memang pantas untuk diinjak jika tak seperti mereka?
Raut mukanya seperti biasa mendatar, dengan cepat ia ketikan pesan untuk membalas lalu mengirimnya. Dengan cepat pula pesan itu terbalas. Ternyata benar-benar si Nana teman sekelasnya. Yang pernah bilang, bahwa Nitisara pembohong paling mahir, manusia paling lugu, dan yang punya tulisan paling jelek didunia. Juga tak lupa yanng punya otak paling tak pantas disebut punya otak, karena mahir didalam satu hal pun ia tak bisa.
Setelah berapa lama ia termenung, dibalasnya lah pesan itu pula, dengan balasan yang sebenarnya ia takut untuk ia kirimkan. Tapi sudah terlanjur. Dan ia harus cari cara, agar ibunya kelak beri izin. Tapi dengan cara apa pula ibunya sampai mengizinkannya pergi kerumah teman jikalau bukan karena tugas. Dengan tanpa henti, ia memutar pikirannya, untuk menemukan jawaban dan menimang-nimang jawabannya. Sepuluh menit yang berguna, ia berhasil memutuskan. Walau jantungnya berdebar kencang membayangkan lisannya akan bicara begitu. Tapi mau bagaimana lagi, rasanya ia muak jika harus dengar kata ibunya terus menerus.
Paginya Nitisara membawakan kakinya ketempat yang ia mau, dengan dada yang berdebar dan takut dosa bahkan pikirannya buat ia takut kalau nanti ia akan seperti Malin Kundang. Ia akan dikutuk jadi batu, karena durhaka. Pikirnya tak salah. Berbohong juga bagian dari durhaka. Belum lagi, jikalau nanti ibunya tau yang sebenarnya, sudah bukan main lagi dirinya akan merasa mati dalam kehidupan. Getir. Hidupnya selalu begitu.
"Kenapa diam saja, Ra?"
Nitisara dengan kuat menahan tangisnya, menggeleng, "Enggak"
Ditengah teman-temannya teriak karena terkejut dengan orang yang dimake up mukanya merah-merah, lalu dikenakannyalah baju putih yang tiba-tiba muncul di film horor itu, Nitisara lah yang tak berteriak ataupun takut. Betul karena pikirannya bukan disini, tapi tak salah juga jika ia tidak takut dengan film semacam itu.