Seperti malam. Dia datang meski tidak ada yang mengundang. Masalah pun sama. Kadang mereka menyelip dalam celah bahagia seseorang.
Seperti kau dan aku. Seperti kita yang sekarang bertemu, tapi mungkin akan segera terpisah dalam jarak ruang dan waktu.
Itu suaraku. Tapi, hanya seperti berdengung dalam kepalaku.
Dunia ini semakin berubah. Dengan panorama indah dan memanjakan mata. Sampai aku lupa, masalah bisa muncul kapan saja.
"Aku Nean. Kau, siapa?" Dia mengamatiku seksama, sebelum mengulurkan sebelah tangan.
"Fransisca Elsie, boleh panggil Sisca, Elsie atau siapapun yang kau mau." Kuulurkan tanganku untuk mengindahkan ajakan perkenalan darinya.
"El saja, bagaimana?"
“Hm, terserah.” Aku mengangguk sambil tersenyum.
Dia berjalan melewatiku. Kuputar arah untuk melihat apa yang sedang dia lakukan.
"Ini bukumu?" ucap Nean sambil mengangkat sebuah buku.
Ya, itu judul ceritaku. Life in Story. L.I.S. Aku lupa dan hampir meninggalkannya begitu saja. Kupikir, buku ini dapat memberi petunjuk. Pasti ada alasan kenapa bisa terbawa sampai ke sini.
Nean menyodorkannya perlahan. Aku maju, mendekat untuk meraih buku itu. Namun, belum sempat tangan kami bertemu, seseorang menubrukku hingga kami sama-sama terjatuh. Gadis dengan rambut pirang berkuncir, mengenakan setelan kaus dan celana panjang. Di tangannya terpasang sebuah benda serupa jam tangan. Tapi, memunculkan gambar layaknya hologram tiga dimensi.
Kami sama-sama mengaduh, hingga Nean tampak bingung hendak menolong siapa lebih dulu. Aku terduduk sedang dia tersungkur menghadap tanah.
“Kalian siapa?” tanya perempuan itu masih sambil menjaga jarak di antara kami. “Kenapa GPS ini menunjukkan lokasi kalian? Padahal harusnya tersambung dengan milik Diaz.”
“Siapa itu Diaz? Kami saja tidak tahu apa-apa,” ucapku menjawab pertanyaannya.
Dalam beberapa saat kami diam, meski setelahnya Nean tiba-tiba membuka suara. Tangannya menunjuk sebuah arah, lalu berpindah ke arah lain, hingga berulang beberapa kali.
“Siapa mereka?” tanyanya.
Kuperhatikan, ada dua orang yang menuju ke sini. Aku mulai berdiri, merapat pada Nean sambil menarik gadis berkuncir meski dia meronta pelan.
Salah satu dari pria itu berlari semakin cepat, seolah ada sesuatu yang dia kejar. Begitu sampai di hadapan kami, dia mencengkeram erat tanganku.
Aku memekik kuat hingga Nean melepas paksa cengkeraman itu. Mereka saling berhadapan dengan tegang sampai pria satunya—yang ternyata sudah sampai juga, berusaha menengahinya.
“Tunggu dulu. Kita sama-sama memiliki kesadaran. Berbeda dengan yang lain. Aku rasa, ada kesalahpahaman di sini.” Pria pelerai itu membuka suara.