Life in Story

Dian Ayu
Chapter #5

XAVIER

Yang sudah ada, harus berjalan sebagaimana mestinya.            

Aku bermimpi. Lagi-lagi tentang dia. Dia yang pada akhirnya dapat merasai layaknya manusia. Dia yang beberapa kali membisikkan sesuatu, atau mencoba memberi tahu? Entahlah. Tapi, sejak malam itu, ucapannya seolah menuntunku.

“Hei, kau tidak apa-apa?”

Tubuhku seperti diguncang beberapa kali. Ngilu di semua bagian. Rasanya juga sulit sekali untuk digerakkan. Perlahan, pandanganku tertuju pada sosok samar di depan. Dia berjongkok sambil memegang pipiku. Menepuknya pelan beberapa kali, hingga kesadaranku sepenuhnya kembali.

“Minumlah,” ucap orang itu sambil menyodorkan sebuah kantung transparan berisi air yang masih ada setengahnya.

Ya, tenggorokanku sudah sangat kering setelah berlari sekian lama. Perutku juga mulai sering berbunyi minta di isi. Mungkin, karena mendengarnya, dia langsung menyerahkan satu buah apel merah.

Tanpa aba-aba, dengan kekuatan yang muncul entah dari mana, kurebut apel itu dari tangannya. Secepat mungkin melahapnya hingga tak bersisa. Kudengar dia bergumam beberapa kali. Tapi, aku tidak tertarik sama sekali dengan ocehannya. Sampai aku tersedak dan dia kembali berkata sesuatu sambil menunjuk kantung airnya. Kuteguk beberapa kali, untuk membantu kunyahan apel itu dapat tertelan.

 “Kan sudah kubilang, pelan-pelan saja.” Aku tertunduk malu. Baru sekarang ucapannya terdengar jelas.

Saat selesai, kulihat dia masih memerhatikanku dengan seksama. Matanya seperti mengikatku, saat kami saling beradu pandang. Dengan cepat, kupalingkan wajah untuk menghindarinya. Auranya terlalu kuat. Pesonanya sungguh memikat. Entah kenapa, aku malah mengingat Nean. Sedikit banyak, sepertinya mereka memiliki persamaan.

 “Apa, sudah merasa lebih baik?” tanya pria itu.

Sudah kubilangkan, matanya menyeramkan. Indah namun mematikan. Rambutnya hitam dengan potongan pendek. Mengenakan pakaian (sweater, jaket, atau jubah?) Senada dengan celana panjangnya. Pokoknya, serba hitam, seperti orang-orang yang hendak pergi ke pemakaman.

 “Kenapa memandangiku seperti itu? Aneh, ya?”

“Ma-maaf. Bukan begitu. Hanya saja, kau mengingatkanku pada seseorang yang kutemui beberapa saat lalu.”

 “Aku pikir, karena pakaianku.”

Ya, sedikit. Maksudku, sangat jarang ada pria muda yang mengenakan setelan hitam suram begini. Kalaupun ada, mereka pasti memadukan modelnya juga. Untung saja tampan, jadi aku masih bisa memakluminya.

“Ehm, terimakasih sudah menolongku. Apa kau juga, tiba-tiba jatuh ke tempat ini?”

“Jatuh, ya? Mungkin tepatnya, menjatuhkan diri. Karena aku mencari seseorang di sini.”

Menjatuhkan diri?

“Siapa? Aku bertemu beberapa orang sebelumnya, mungkin salah satu dari mereka.”

“Kurasa bukan. Mereka yang kau maksud adalah, Non Play … ehh, orang-orang aneh itu?”

Non Play apa? Kenapa dia tidak jadi mengucapkannya?

“Memang hampir semua orang tampak aneh, tapi ada beberapa yang normal seperti kita.”

Lihat selengkapnya