Life in Story

Dian Ayu
Chapter #6

PERTEMUAN KEMBALI

Active Skill Comand. Copy System.

Hanya itu yang kuingat. Terakhir kali, ini berhasil walau hanya percobaan. Namun, beberapa detik berlalu dengan lambat. Badanku gemetar penuh harap. Yang ternyata semua sia-sia. Tak ada monster serupa yang membantuku melawan mereka. Seperti waktu itu.

“Ke-kenapa?”

Sebuah sulur memelitku erat. Membuat beberapa tulang gemeretak. Patah. Dengan sakit yang teramat parah.

Monster lain datang, memutuskan sulur itu. Membuatku menggeliat di tanah karena terjatuh dengan tubuh yang masih terikat. Mereka masih menggeram. Tapi kini saling serang seperti berebut makanan.

Aku tak peduli pada pertarungan mereka, berusaha mengendurkan ikatannya. Sulit, namun berhasil setelah dengan paksa aku menyentak tubuhku sambil berguling-guling. Merayap untuk menjauh dari para monster. Sambil menunggu Xavier yang mungkin akan kembali untuk menolongku.

Tuhan menciptakan kisah hidup manusia. Seperti itu pula, kalian menciptakan tokoh dalam cerita.

Suara itu, jika dia memberiku petunjuk, apa maksudnya? Mana bisa Tuhan disamakan dengan manusia. Dalam hal apapun, tak akan ada yang sebanding denganNya.

Justru karena tak mampu menyamainya, aku bisa tercipta. Bahkan melebihi kalian semua.

 

Suara percakapan. Perasaan dejavu ini, aku seperti berbicara dengan seseorang. Tapi, siapa?

Satu pohon tumbang, cabang pada puncaknya menimpa kakiku. Banyak monster yang tercabik di tanah. Darah hampir membanjiri tanah lapang yang semula adalah hutan penuh pepohonan. Ada seseorang di sana, di tengah bangkai mereka. Atau dua orang? Penglihatanku mulai kabur. Rasa sakit yang tak tertahankan ini membuatku sulit untuk bergerak menjauh. Seperti lumpuh, aku tak mampu merasakan kakiku. Hanya bisa terpejam dan mengerang, berusaha menangkal rasa sakit agar tetap sadar. Hingga terdengar suara langkah yang kuat. Dia mendekat. Kurasa sudah berada di sampingku.

“Uhh.”

Seseorang seperti mengaduh. Tubuhku diangkat hingga terduduk. Dengan paksa aku membuka mata, kupikir Xavier. Ternyata, Nean.

“Apa yang kau lakukan padanya?” tanya Nean sambil menatap lurus ke depan. Susah payah aku memiringkan kepala, penasaran siapa yang ada di sana.

“Aku hanya ingin menolongnya.”

Xavier. Dia di sana sambil menunduk memegangi perut. Darah merembes dari sana, meski luka itu sudah dia tutupi dengan tangannya. Kurasakan sebelah tangan Nean menahan punggungku, sedang satu lagi memgang pisau dengan sisa bercak merah.

“A-pa yang ka-kau lakukan?” ucapku terbata.

Tanpa menjawab apa-apa, Nean memapahku berjalan. Pandangannya masih tajam menuju Xavier. Entahlah, apa masalah mereka. Aku masih harus memprioritaskan diri sendiri, dari pada memikirkan keselamatan orang lain. Jadi, kuputuskan mengikuti arahan Nean untuk pergi dari sini.

Lihat selengkapnya