Sesuatu melesat tepat ke arahku. Hanya tersisa beberapa senti saat Nean menangkis dengan lengannya. Darah mengalir dari luka itu, membuatku panik. Namun, Nean malah memerhatikanku dengan seksama.
"Apa kau terluka?" tanyanya.
Aku menggeleng, mengalihkan perhatian pada benda yang kusadari ternyata sebuah belati.
"Siapa yang melemparkannya?" Aku kembali berfokus pada Nean. Menyentuh lukanya sebentar—yang entah kenapa tadi terlihat panjang dan dalam, kini tampak menutup seluruhnya. Hanya bersisa goresan kecil.
Nean melirikku hingga mata kami beradu. Belum sempat aku bertanya, rahangnya mengeras. Menatap tajam ke depan. Tempat sungai berarus deras.
Kualihkan pandangan mengikuti arahan Nean. Di sana, ada seorang pria berkaca mata, mengenakan jubah cokelat tua. Kedua tangannya di angkat ke depan, menghadap wajah. Di setiap sela jarinya terselip belati kecil.
"Mau apa dia?" tanyaku pada Nean.
"Entahlah. Tetap di sini, sampai aku memberi aba-aba untuk lari."
Mendengar ucapannya, aku justru semakin panik. Nean berlari ke arah pria itu, mengeluarkan sebuah pedang yang sebelumnya tak kusadari tersarung rapi di pinggangnya.
Belati itu kembali terlempar satu persatu, namun dengan interval yang teramat singkat saking cepatnya. Sehingga tampak seperti bersamaan. Semua berhasil ditangkis oleh Nean dengan pedangnya. Beberapa dari belati itu justru berbalik dan menyerang tuannya. Hingga orang berkacamata harus melompat beberapa kali untuk menghindar.
Jarak mereka semakin dekat, hanya berkisar satu meter saat dengan kuat Nean menebaskan pedangnya. Terdengar bunyi dentingan nyaring saat pedang itu beradu dengan dua belati bercahaya. Muncul kilatan-kilatan serupa petir, lalu terdengar bunyi letupan kecil, dibarengi dengan mereka berdua yang sedikit tersentak ke belakang.
Mereka kembali bersiap, memasang kuda-kuda untuk bertahan dan menyerang. Nean unggul di kecepatan, sehingga dia berhasil memojokkan lawannya. Kedua belati bercahaya yang tadi digunakan untuk menangkis serangan, kini sudah hilang entah kemana. Satu tebasan kuat hampir mengenai pria itu, namun serangan Nean berhenti di udara.
Seseorang muncul di antara mereka, penampilan dan wajahnya sama dengan pria berkaca mata. Namun, tanpa ekspresi sama sekali. Dia menendang Nean hingga terlempar dan menabrak pepohonan.
“Uhh,” beberapa kali Nean mengaduh dan berdecih. Dengan cepat aku berlari menghampirinya. Tapi, kekhawatiranku justru berbalik umpatan. Dia marah karena aku mendekati medan perang mereka.
“Kubilang, tetap di sana. Kau itu hanya merepotkan saja!”
Tak peduli apa yang dia katakan, aku hanya ingin memastikan bahwa kondisi pria ini tidak separah yang kukira. Dia terbatuk sebelum akhirnya bangkit berdiri. Tiba-tiba, Nean membelalak. Nafasku tercekat karena merasakan hawa bahaya. Saat aku menoleh, ternyata kembaran orang berkaca mata sudah berdiri di belakangku. Sebelah tangannya terangkat, dan dengan cepat mengayun. Membuat diriku terhempas kuat meski Nean menahanku dengan tubuhnya.
Sejak datang ke dunia ini, entah sudah berapa kali tubuhku seperti diremukkan. Skill bertahanku, kenapa tidak bisa aktif lagi. Padahal situasi sekarang sama mendesaknya seperti waktu itu. Nean membantuku berdiri, luka ditubuhnya perlahan menghilang. Tapi, dia tampak terengah-engah karena lelah. Satu hal yang terpikir olehku, dia mungkin hanya dapat memulihkan luka fisik, tidak dengan staminanya.
Ehh, kenapa Nean mempunyai skill seperti itu? Padahal kan dia tidak memiliki buku seperti milikku?