Banyak yang bilang, musuh bisa ada di mana saja. Bahkan, tepat di depan mata.
Mereka masih beradu drama dengan ekspresi yang membuat pusing kepala. Harus berapa kali aku bilang bahwa, aku tak akan memihak siapapun diantara mereka. Namun, tak kusangka masalah akan semakin menjadi seperti ini.
“Kau lebih memercayainya dari pada diriku, El?” ucap Adhy sambil menarik lenganku kuat. Aku sampai tersentak saking kagetnya. Genggamannya masih tak melepas lenganku, meski aku terus mengaduh kesakitan.
“El? Padahal aku memilih nama itu agar tak ada yang menyamainya. Ternyata, kau juga memanggilnya seperti itu.” Nean mendekat dan mencengkeram erat tangan Adhy. Menariknya agar lepas dariku. “Meski aku tak tahu kau siapa dan sedekat apa kalian berdua, tapi yang seperti ini bukan teman, namanya.” Nean mengarahkanku untuk mundur di belakangnya.
“Itu panggilan sayang…,” ucapannya berhenti sebentar. Lalu dia kembali berteriak, “Jangan ikut campur. Ini bukan urusan loe!” Adhy berusaha mendekat lagi padaku. Namun Nean menahannya.
Dengan kasar, Adhy mendorong Nean hingga berimbas padaku yang berada di belakangnya. Hampir saja aku terjatuh, namun tangan Nean menahanku. Aku tahu, Adhy itu kasar. Dia terkenal sebagai pembuat onar. Namun, selama ini dia menjagaku dengan baik. Entah apa yang membuatnya menjadi sekasar ini.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Nean yang kujawab dengan anggukkan.
Mereka saling menatap sebelum akhirnya memulai perkelahian. Nean mendaratkan tinju ke wajah Adhy, membuat pria itu mundur beberapa langkah sebelum membalasnya dengan tendangan.
Aku berteriak, namun percuma. Mereka tak akan mendengarnya. Jadi, kuputuskan untuk belari menjadi penengah. Sialnya aku lupa Adhy sulit meredam emosi, sehingga pukulannya telak mengenai pipiku dan membuatku tersungkur. Nean masih diam ditempatnya dengan posisi siap menyerang. Dia sempat berhenti saat tahu aku berdiri di sana.
Adhy panik dan segera mendekat. Ekspresinya tampak khawatir. Tangannya terulur, berusaha membantuku, namun kutepis. Terlalu kesal sampai ingin melemparnya ke mars saja. Kucoba untuk berdiri sendiri, tapi malah terhuyung kembali.
“Aku bantu,” ucap Adhy lagi.
“Tidak perlu!” Belum sempat aku menolaknya, Nean sudah memapah dan menyandarkanku ke sebuah pohon.
“Aku tidak bermaksud melukaimu. Tapi, kau terus saja membelanya.” Aku tak tahu, bagian mana dari kalimatku yang merupakan pembelaan untuk Nean.
“Begini saja, kau pilih ikut denganku atau dia!”
Tak kusangka, pria ini bahkan lebih mementingkan egonya ketimbang diriku yang terluka. Padahal, dia bilang akan selalu melindungiku. Pembohong. Cih. Untung saja aku menolak pernyataan cintanya, meski dia masih terus memaksa.
Sudah kubilang kan, dia pria yang baik. Setidaknya, dia baik padaku. Tapi, perangainya membuatku kesal karena selalu saja ikut campur. Dia bahkan menerror setiap pria yang menyatakan cinta padaku. Gila, kan? Over protective. Meski, dia bisa di andalkan dalam beberapa situasi lainnya.
“Kau sudah memukulku, sekarang ingin meninggalkanku!” umpatku kesal.
“Makanya, pilih aku dan biarkan orang ini enyah dari sini.”
“Aku ingin kita bersekutu. Agar bisa kembali ke dunia nyata.”
“Justru berbahaya jika kau tetap bersamanya, karena dia….”
Percakapan kami berhenti karena Adhy menggantung kalimatnya. Nean masih diam sambil memerhatikanku. Lalu mulai berjongkok dan mengusapkan jarinya ke bawah hidungku.
“Apa?”
Kurasakan sesuatu yang panas mengalir dari hidung. Saat melihat tangan Nean, barulah aku sadar bahwa itu darah. Dengan segera aku mendongak, kata orang begitulah tindakan yang harus dilakukan saat sedang mimisan.