Mencintai dan dicintai. Mana yang lebih menyakiti?
Tangan Adhy tidak hanya memegang kantung air transparan. Tapi, juga sebuah benda kecil-kecil bulat berwarna merah.
“Gue bilang jangan deket-deket!” Pria itu langsung mengisi sela di antara tempatku dan Nean. Tampak ketus dan dengan sengaja menyenggolkan tubuhnya untuk mendorong Nean agar menjauh.
“Minum,” ucapku berusaha membuatnya berhenti.
“Ohh, iya. Ini, tuan putri. Silahkan, ada buah juga. Kau pasti lapar. Tenang saja, aku sudah mencobanya. Jadi, aman. Tidak beracun sama sekali.” Dia berekspresi menyebalkan lagi seperti biasanya. Tersenyum semanis mungkin, yang justru malah membuatku ngeri karena tampang barbarnya yang tidak singkron sama sekali.
“Jangan dimakan. Buah itu berbahaya, meski efeknya tidak langsung terasa.” Nean berkata masih dengan membuang muka.
“Sok tahu Loe, jelas-jelas gue bilang kalau ….” Belum sempat Adhy menyelesaikan ucapannya, dia tampak lemah. Tertawa sendiri sambil meracau tidak jelas.
“Apa? Adhy, kenapa?” Pria itu semakin mendekatkan tubuhnya, bahkan mulai bergelayut mesra meski aku berontak dan berusaha menjauhinya.
“Nean, tolong aku. Ada apa dengannya?”
“Sudah kubilang. Buah itu berbahaya meski tidak mematikan.” Pria itu masih diam di tempat. Tak berusaha membantuku menyadarkan Adhy yang jadi aneh. Barulah saat aku terdorong dalam posisi baring—dengan Adhy yang masih tertawa-tawa meracau menindihku, dia segera menarik paksa tubuh Adhy. Melemparnya hingga menghantam pohon. Aku sampai harus memekik padanya agar tidak melakukan hal sekasar itu.
“Minum dulu,” ucap Nean sambil menyodokan kantung air. Membuatku bingung, namun tetap menurutinya. Sepertiga dari air itu sudah kuteguk, lalu memberikan sisanya pada Nean. Kupikir dia hendak meminumnya juga, ternyata malah disiramkan pada Adhy yang saat ini sedang memeluk pohon tempat dia terlempar tadi.
“Kau ini apa-apaan? Sudah kubilang cukup dia saja yang menyusahkan, kau jangan ikut-ikutan.” Aku memelototi Nean kesal. Namun, saat itu juga Adhy tak bergerak lagi. Hanya mendengkur seperti orang yang sedang tidur.
“Biarkan saja, dia hanya pingsan sementara. Buah itu memberi efek ilusi, sehingga apapun yang dia bayangkan akan terasa seperi nyata.”
“Memangnya, apa yang dia bayangkan sampai memelukku seperti itu?”
“Kebanyakan, pikiran pria itu mesum. Mungkin saja yang dia bayangkan adalah dirimu.”
“Maksudnya?”
“Tubuhmu!” Aku tak mengerti, tapi melihat Nean mengarahkan pandangan sambil memaku diriku dari atas ke bawah, spontan aku memeluk diri sambil menjauh.
“Dasar pria menyebalkan. Jangan menjadikan diriku model pikiran kotor kalian.”
“Jangan menyamakanku dengan mereka, karena aku ini berbeda!”