Pernah, sesekali aku merasa bosan berada di dunia nyata. Dimana semua hal hanya berlalu sebagaimana mestinya. Tidak ada yang spesial. Bahkan, karya-karya yang kucipatakan masih terasa hambar untukku. Entah kenapa mereka menyukainya. Setidaknya aku merasa lebih hidup dalam tulisan itu.
Beberapa saat aku memikirkan secuil kehidupanku dulu dan sekarang. Terbesit sedikit hal yang membuatku heran.
Setelah kupikir-pikir, suara yang waktu itu pernah muncul sama persis dengan pikiran yang pernah aku tetapkan. Siapa dia sebenarnya? Apa kami memang pernah berinteraksi satu sama lain? Dari alam bawah sadarku, mungkin. Entahlah, tak ada yang tahu. Termasuk diriku.
Aku masih mengulang kalimat yang sama. Meski mereka tetap diam dengan ekspresi kebingungan. Tak ada waktu untuk menjelaskan karena orang-orang itu semakin dekat. Kuputuskan untuk menarik Hana berdiri dan menyeretnya bersamaku dan Adhy.
Dengan tergopoh kami berlari sekuat tenaga demi memperpanjang jarak kami dengan rombongan tak dikenal itu. Nean masih mengomel sepanjang perjalanan karena aku tidak memberi tahu mereka tentang alasan kami harus pergi walau hari sudah gelap seperti ini.
“Tunggu! Berbahaya jika kita memaksa untuk tetap bergerak. Kau tahu, kita tidak punya petunjuk apa-apa tentang tempat ini. Alih-alih menyelamatkan diri, bisa saja kita justru tergiring menuju kandang musuh. Atau malah tersesat dan saling terpisah.” Nean berdiri tepat di depanku. Dengan posisi siap memaksa agar kami berhenti.
“Benar, El. Aku nggak ngebela dia, tapi kan bisa jelasin dulu ada apa. Kamu ngajak kami lari gini, emangnya siapa yang ngejar kita?” Adhy turut menyuarakan protesnya meski dengan suara yang dipaksa selembut mungkin.
Aku melengos. Kesal tapi sadar bahwa mereka memang benar. Walau bagaimanapun, aku memang tidak bisa mengambil keputusan sepihak. Tapi, kalau terdesak kan, mau bagaimana lagi.
"Aku mendengar suara langkah. Sepertinya dari beberapa orang, karena itu kita harus bersembunyi. Bagaimana kalau mereka adalah rekan-rekan dari para penyerang Hana tadi? Makanya aku mengajak kalian pergi.”
“Aku diserang? Kapan?” tanya Hana. Matanya bersinar seperti kornea kucing, namun dengan kemilau yang berbeda satu sama lain.
“Halah ni bocah, nggak usah ikutan ngomong deh. Ingatan loe tuh kagak jelas. Suka datang-ilang kayak mantan.” Adhy mencibir yang dibalas cubitan keras oleh gadis itu.