Kau tahu? Aku tidak dapat mengubah apapun, karena kuasa penuh ada padamu.
Lagi. Terdengar lagi. Apa saat aku meminta, dia akan senantiasa mengabulkannya? Apa dia masih ada di suatu tempat, dalam kepalaku?
Aku masih ingin merenung, demi mencari tahu tentang dia yang lagi-lagi menjadi tanda tanya paling besar dalam kepala. Tapi, suasana kembali menegang. Dimana pasukan dari lima orang itu—apa itu namanya? Ohh, Squad Kekaisaran—tiga di antaranya maju, berusaha menyibukkan kami untuk mengalihkan perhatian dari Diaz dan Hana yang ternyata sudah kabur entah sejak kapan.
“Kau tuli ya, El? Kubilang untuk mengejar mereka!”
Suara Nean menyentak kuat kesadaranku, membuatku tergagap karena memang tidak mendengar ucapannya sejak tadi. Adhy bahkan enggan membelaku, atau sekadar basa basi memberi pengertian, ekspresinya cukup tegang sampai aku yakin benar bahwa situasi kami memang tidak punya celah untuk dijadikan bahan guyonan.
“Ma-maaf.” Kuputuskan untuk tak menambah kekesalan Nean. Tanpa bertanya, langsung mengikutinya yang mulai menerjang pasukan di depan.
Namun tiba-tiba pria itu berhenti. Membuatku harus dengan rela menabrak punggung tegapnya. Lalu berbalik menghadapku sambil menggeram.
“Kejar mereka, El! Aku dan Adhy akan menyusulmu. Hana dalam bahaya!”
Entah apa yang dia maksud. Kenapa pula Diaz yang tampaknya begitu perhatian, akan menyakiti temannya sendiri? Mataku bersitatap dengan Nean, membuatku tahu bahwa dia tidak menerima intrupsiku. Tanpa berani menyahut, aku langsung melompat ke arah lain. Berlari menghindar dari para squad itu sambil mencari jejak Diaz.
Satu orang hampir menerjang, namun berhasil dihentikan oleh Adhy yang sudah bersiap dengan senjata Schyte-nya. Adhy memberi isyarat padaku untuk lari, meski aku ragu mereka bisa memenangkan pertarungan ini.
Squad Kekaisaran adalah pasukan yang terdiri dari lima orang terkuat. Setiap anggotanya bahkan mampu mengalahkan seratus orang sekaligus. Sialnya, aku membuat mereka terlalu sempurna dalam sebuah pertempuran, tidak ada celah untuk mengalahkan mereka. Pertahanan dan kemampuan menyerangnya sangat seimbang. Namun, aku yakin para pasukan itu tidak akan mudah di kendalikan begitu saja. Mungkin aku harus membunuh pengendalinya untuk bisa menang.
Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Nean hingga memintaku mengejar Diaz? Padahal aku sama sekali tak bisa melakukan apa-apa. Tak ada waktu memikirkannya. Aku harus memastikan Hana baik-baik saja.
Suasana malam semakin pekat. Mataku sama sekali tak dapat melihat apa-apa. Hanya meraba pada udara dan beberapa pohon besar di sepanjang jalan. Entah arah ini sama dengan jalur yang dilewati si Diaz misterius itu, atau justru kebalikannya. Aku bahkan malas mengikuti perintah Nean yang meminta untuk meninggalkan petunjuk.
Purnama perak di atas sana sama sekali tidak membantu. Sinarnya hanya berupa semburat redup yang tak mampu menembus rimbunnya pepohonan hutan. Beberapa kali aku berjingkat, karena tak sengaja menginjak entah apa. Hanya terdengar suara desisan yang membuatku spontan mengira mereka adalah hewan melata. Membuatku dengan segera belari menjauh, hingga tanpa sadar kehilangan pijakan dan hampir jatuh ke dasar jurang.
Sungguh. Aku pasti hanya tinggal nama jika pakaianku tidak tersangkut sesuatu. Atau tepatnya, ditahan oleh sesuatu?
“Hei, berbahaya! Kenapa di setiap perjumpaan kita, kau selalu menyusahkan, sih!”