Life in Story

Dian Ayu
Chapter #18

NEAN AI

Seketika, aku merasa tenagaku sudah pulih sepenuhnya. Bersiap membalas dendam tanpa bersedia mendengar penjelasan bahkan pengampunan dari pria itu. Tapi, belum sempat aku melancarkan serangan, telunjuk kanannya menyentuh bibir. Lalu kedua tangannya terangkat untuk menahanku agar berhenti.

“Jangan sekarang. Aku sudah susah payah membuat hubungan kami jadi lebih baik. Jangan kau rusak dengan membuatnya melihat kemesraan kita, El.”

Ucapan pria itu malah membuatku semakin berniat mengejarnya. Namun, lagi-lagi dia memberi isyarat untuk diam sambil mengendikkan kepala ke arah belakang pohon yang kugunakan untuk bersandar.

Apa sih? Memangnya, dia yang dimaksud itu siapa?

Aku menoleh dan terbelalak. Pria barbar itu ada di sini. Adhy. Sampai dimana sih, kisahnya kembali terulang?

“Kau lupa, ada dia juga? Pasti karena terlalu sibuk memikirkanku.”

Mendengar suaranya saja membuatku kesal. Tahan, El. Kenyataannya memang aku lupa bahwa yang menolong Hana adalah kami bertiga. Tapi, kenapa mereka bisa akur begini? Jangan bilang kalau pikiran Adhy sudah dimanipulasi?

“Aku cukup lama menetap dalam kepalamu, sampai hapal benar apa saja yang bisa menjadi kemungkinan dari setiap ekspresimu. Kau penasaran kan kenapa hubungan kami baik-baik saja?”

Sial. Kenapa dia selalu bisa membaca pikiranku sih!

Aku masih penasaran, dan hendak menyudutkannya agar menjelaskan situasi baru kami. Tapi, batal karena Adhy sudah sampai. Dia memegang kantung air transparan yang langsung dijatuhkan saat melihatku. Kantung itu pecah, dan airnya tumpah cuma-cuma. Padahal aku sedang kehausan. Memangnya untuk apa dia mengambil minum jika akhirnya hanya mendatangiku dengan tangan kosong saja? Ternyata memang benar, otot dan otak itu tidak boleh condong sebelah. Karena dampaknya akan sangat buruk seperti yang terjadi pada manusia ini!

“Kau baik-baik saja, El?” tanya Adhy saat sampai di hadapanku. Tampak kekhawatiran dari ekspresinya, membuatku tidak tega untuk marahinya.

Aku masih lupa, kenapa bisa tidak sadar di sini. Ya, maksudku, kan dalam cerita asli aku sudah mati. Jadi, titik kembalinya ada di mana? Sepertinya, bertanya pada Adhy jauh lebih baik dari pada harus berkomunikasi dengan Pria aneh itu.

Aku meliriknya, yang ternyata juga sedang memerhatikanku. Kami sempat beradu pandang, tentu saja aku menguarkan tatapan kebencian yang dibalas dengan kuluman senyum yang berusaha dia tahan. Benar-benar! Bagaimana mungkin sifatnya berubah total seperti ini?

“El,” Adhy kembali memanggilku pelan.

“Ehh, i-iya. Ada apa? Ehm, memangnya aku kenapa?”

“Kau tidak ingat?”

Bagus, aku bisa memancingnya agar memberitahuku. Adhy memang pahlawan yang tidak pernah kuharapkan, tapi sering memberi pertolongan. Kupandangi dia dengan tidak sabar. Berharap pria yang sedang kebingungan ini segera membuka suara.

“Sepertinya kau masih kelelahan. Istirahatlah dulu, nanti akan aku ceritakan saat kondisimu sudah lebih baik.”

Lihat selengkapnya