Life in Story

Dian Ayu
Chapter #21

PERBEDAAN

Tubuhku gerah dan kotor, setelah sekian lama berlarian dan terjatuh dengan posisi indah yang menyakitkan. Sungai ini seperti memanggilku, airnya menyapa dengan pesona yang luar biasa. Seolah inilah harta paling berharga yang bisa aku peroleh di dunia ini.

Sabar, El. Tunggu gelap saja, nanti ajak Hana juga. Terlalu berbahaya jika mandi di siang hari seperti ini.

Aku merebahkan tubuh di tanah, berbaring tanpa alas. Tak peduli lagi pada gengsi dan lainnya. Aku lelah, benar-benar lelah setelah berpikir keras dan berusaha membujuk Hana untuk tetap di sini. Ya, bukan berarti aku memihak Nean, tapi aku perlu berada di sini untuk mengetahui apa yang sebenarnya dia rencanakan. Kubilang pada Hana untuk mengawasinya dulu, paling tidak untuk sementara waktu.

Hana masih pada posisinya tadi, tetap diam bersandar pada pohon sambil melamun. Aku tak ingin mengganggunya, jadi kubiarkan saja. Sampai Nean dan Adhy kembali tanpa membawa apapun.

“Kami sudah berkeliling, tapi tidak ada buah sama sekali. Tidak juga dengan umbi-umbian bahkan hewan buruan. Di hutan ini hanya ada pohon besar tinggi, dengan beberapanya berbentuk aneh. Seperti gambaran anak TK saja. Siapa sih orang bodoh yang sudah menciptakannya?” Omelan Adhy sudah terdengar bahkan saat jarak kami masih lumayan jauh.

Aku melirik Nean, membuat pandangan kami beradu. Dia mengerjap polos beberapa kali. Benar juga, aku tak pernah melihatnya makan. Apa dia tidak paham bahwa manusia perlu makan? Berada sekian lama dalam kepalaku, sepertinya tidak memberi pengetahuan apa-apa untuknya. Padahal kan aku sering sekali kelaparan.

Hana juga melirik tajam pada pria itu, tapi enggan berkomentar karena ada Adhy di sini. Kami sepakat untuk menyembunyikan hal ini. Pura-pura diam sambil menyelidiki semua kebenarannya.

“Ehm, padahal manusia itu perlu makan. Setidaknya buah juga nggak apa-apa. Aku suka apel, rasanya manis sedikit asam, bentuknya bulat, ada yang berwarna merah, ada juga yang hijau. Semuanya tergambar jelas dalam pikiranku.”

Apa Nean paham? Apa dia masih bisa mengetahui isi pikiranku? Aku sudah membayangkannya dengan jelas. Kupikir ini satu-satunya cara agar kami terhindar dari kelaparan, meski Hana sempat ingin memprotesnya.

“Itu apa?”

Nean menunjuk pada satu arah. Aku membelalak. Bahkan Adhy berteriak saking syoknya. Hana malah memelototiku. Tentu saja, ini memang salahku. Tampak beberapa benda menggantung di cabang paling bawah sebuah pohon. Kau tahu? Bagaimana mungkin ada buah apel yang muncul tiba-tiba di sebuah pohon akasia? Mana bergerumbul layaknya buah anggur pula.

“Sepertinya pencipta dunia ini sedang memerhatikan kita. Aku harus lebih menjaga ucapanku,” kata Adhy sambil menyusup di antara aku dan Hana.

“Apa sih, cowok mesum gak jelas!”

“Kau ini, sudah bagus tadi kuselamatkan. Bukannya bilang terimakasih, malah jadi nggak tahu diri.”

Hana dan Adhy terus berdebat saat aku melihat Nean menelengkan kepalanya heran. Aku menggaruk kepala asal. Cukup frustrasi dengan kepolosan makhluk ini. Tapi, biarlah. Perutku sudah terlampau kelaparan jika harus menunda makan hanya untuk menghujatnya.

“Yang penting ada makanan. Kalian nggak lapar? Ayo kumpulin, sekalian buat stok nanti-nanti.”

“Jangan, El. Kalau beracun bagaimana?”

“Harusnya sih aman.”

“Memangnya Tuan pencipta dunia ini, tahu apa itu racun?”

“Stop. Nggak makan juga lama-lama kita bisa mati kelaparan. Sama aja, cuma beda waktunya.”

Aku baru tahu, Hana bisa sesarkas ini. Entah bagaimana caranya aku mempertahankan persatuan dalam kelompok ini. Mengingat Adhy juga sama kerasnya.

Kali ini malam kembali datang. Harusnya, sebentar lagi menjadi waktu kehadiran Diaz bersama Squad Kekaisaran. Nean bilang, semua hal bisa berubah karena aku mengganti jalan ceritanya. Tapi, berjaga-jaga juga tidak ada salahnya kan.

Adhy sibuk menyiapkan perapian. Dia meraba-raba tanah untuk mencari beberapa ranting kering. Awalnya, aku berniat mengajak Hana, tapi dia malah terlelap. Jadi, kutinggalkan saja dia di sini dan berjalan mengendap menuju tepian sungai yang agak jauh. Berharap mereka tidak menemukanku. Paling tidak untuk sementara ini.

Kupastikan suasana sekitar aman. Mulai melepas satu persatu pakaian dan segera masuk ke dalam air untuk berendam. Menyegarkan. Air ini tidak dingin sama sekali. Suhunya terasa hangat apalagi saat menyelam semakin dalam.

“Kau sedang apa?”

Spontan aku kembali menyelam saat baru saja mengambang ke permukaan. Sakit. Aku kehabisan napas. Sial. Kenapa dia ada di sini, sih?

Lihat selengkapnya