Otakku masih disibukkan oleh kata-kata Diaz. Penghianat, katanya? Mungkinkah aku salah dengar?
Suara benda-benda berjatuhan, seperti rongsokan besi. Memanggil kembali kesadaranku yang langsung berlari menuju Hana. Membantunya pergi dan mendekat ke tempat Nean dan Adhy.
Kulihat, para Squaad Kekaisaran yang sebelumnya mewujud pasukan berjirah, kini terbaring dengan mengenakan pakaian normal. Berupa kaus dan celana kain panjang yang biasa digunakan sekadar untuk bersantai di rumah. Sedang senjata dan seragam atau kostum mereka sebelumnya, tercecer dan menggeletak di tanah begitu saja.
Nean dan Adhy masih tampak tersengal-sengal, mereka masih diam di tempat sambil berbaring. Hanya memerhatikanku dan Hana yang mulai ikut duduk di dekat mereka.
“Syukurlah, kita tidak jadi mati,” ucap Adhy dengan suara yang terdengar berat.
“Baguslah, kau tidak memercayainya.” Kali ini giliran Nean yang berbicara, mulai berusaha bangun lagi sambil berpegang pada batang pohon dan bersandar di sana.
Aku diam, bingung untuk meresponnya. Karena sudah terlanjur berjanji, mana bisa aku membatalkannya. Lagi pula, Xavier terlihat lebih menakutkan. Terlebih saat menghabisi nyawa Diaz tadi. Ekspresinya bukan berupa seringai kemenangan. Tapi lebih seperti kosong. Seolah tindakan kejam itu bukan apa-apa untuknya. Malah terkesan bahwa itu adalah hal biasa.
Bagaimana mungkin ada orang yang sedingin itu? Apalagi saat dengan mudahnya dia menyahuti ucapan Diaz yang sedang sekarat. Membuatku penasaran, apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan. Penghianat?
“Aku selalu menepati janjiku. Tapi, pernahkah kubilang tidak akan membunuhmu?”
“Brengsek. Awas saja kalau kau mengganggunya!”
“Kau terlalu banyak bicara. Mari kita sudahi saja,” ucapan terakhir Xavier mengakhiri perbincangan singkat mereka. Setelahnya tubuh Diaz hancur. Menyerupa serpih berkilauan, lalu lenyap.
Kondisi kami sangat tidak menguntungkan jika harus kembali bertarung, meski kali ini hanya untuk melawan Xavier. Aku terlalu takut. Sampai tak menyadari Hana mengguncang tubuhku beberapa kali sambil menggeleng. Xavier ada di sini. Dia tidak memberi waktu tambahan untukku mengelak seperti tadi.
“Jangan, El!” Hana mulai menangis dan memunculkan sebuah layar hologram. Mendorongku masuk kesana.
Tubuhku berputar-putar melayang, mulai menjauh dari lubang hitam yang semakin lama kian mengecil dan hilang total. Di bawah sana tampak cahaya putih menyilaukan, memaksaku untuk menutup mata karena tak tahan. Detik selanjutnya, aku seperti terbaring di sebuah tempat. Kusipitkan mata untuk sekadar mengintip keadaan. Ternyata, cahaya itu sudah menghilang. Hanya bersisa lantai transparan serupa air yang memiliki riak tiap kali aku bergerak di atasnya.