Seluruh cerita ini dilindungi oleh undang-undang. Bagi siapa yang menjiplak/plagiat tanpa izin, akan dikenakan hukuman atas pasal yang berlaku di Indonesia tentang hak cipta.
AYAH BERJANJI akan membelikan buku dongeng baru jika aku berhasil mengerjakan PR matematika tanpa dibantu. Dan malam ini, Ayah menepati janji dengan menyodorkan sebentuk buku dongeng bergambar. Ceritanya tentang penyihir yang dikutuk untuk meninggal di usia sepuluh tahun. Aku menyukai cerita itu, terlebih ketika Ayah beralih duduk di sampingku dan membacakannya. Rasa seru dan tegang semakin terasa, deh! Karena Ayah memiliki suara yang khas dan intonasi yang tepat.
"Yah," sahutku pelan, menoleh padanya yang sibuk menilik buku. "Lulu mau tanya."
"Nanya apa, Lu?" Ayah ikut menoleh seraya tersenyum.
Aku menunjuk buku yang dipegang Ayah. "Dalam buku ini, katanya, seseorang akan pergi saat usia mereka menginjak seratus tahun ya?"
Mendengar pertanyaanku, beliau tertawa. "Itu hanya ada dalam dongeng, Lu. Seseorang pergi enggak harus ketika usia mereka menginjak seratus tahun."
Aku cemberut. "Habisnya, Lulu takut, Yah."
"Takut kenapa?"
"Ayah nanti pergi ninggalin Lulu sendirian yang usianya belum seratus tahun."
Ayah mengelus puncak kepalaku. "Semua orang itu bakal pergi kalau waktunya pergi. Sama seperti luka di kaki kamu minggu kemarin karena main sepeda, sakitnya bakal pergi, kan? Lagi pula, Lulu kan tahu, enggak ada yang abadi di dunia ini."
Aku mengangguk. "Kayak Burger Lurif Boom spesial? Kalau udah masuk perut, burger yang enak buatan Ayah itu bakalan ilang. Tapi, kok, rasanya masih bisa diinget, sih? Enggak ilang?"
"Sebut aja, itu kenangan. Mau seseorang yang pergi, mau sesuatu yang hilang, atau mau makanan yang lenyap di perut. Semuanya, awalnya punya kisah sendiri untuk kita. Entah itu hal-hal baik, diberikan oleh seseorang yang berharga, atau karena lapar yang teramat sangat di waktu kepepet."
Aku tertawa, membuat Ayah kembali tertawa.
"Lulu bakal selalu ingat kata-kata Ayah. Termasuk satu hal yang Ayah sering bilang itu, sama Lulu." Aku menaik-turunkan alis jenaka.
"Apa?" Tatapan Ayah melembut.
"Hidup, adalah sebuah hak yang istimewa."
Ayah mengangguk. "Tapi kayaknya Lulu lupa satu lagi."