AKU MENEMUKAN banyak sobekan kertas di lantai kamar tengah yang berserakan. Mau bertanya pada Ibu atau Ayah, kamar ini memang tidak dipakai, mereka juga pasti tidak tahu siapa yang iseng menyobek kertas yang bahkan di sini tidak terdapat buku sama sekali. Tidak mungkin Yuka si kucing hitam yang baru-baru ini sering bermain di rumah, karena kucing tidak dapat menyobek kertas dengan kaki-kakinya. Apalagi sobekan kertas ini benar-benar rapi.
Jika Ibu datang dan melihat kekacauan ini sekarang, sudah pasti aku yang akan disalahkan. Siapa lagi selain aku si anak perempuan yang nakal? Aku yang membangkang dan keras kepala, aku yang egois dan manja. Di rumah ini tidak ada saudara lain atau orang lain selain kami; aku, Ibu, Ayah. Hanya ada kami. Mungkinkah, pencuri? Tapi, untuk apa? Pencuri, kan, pastinya mencuri barang atau uang, bukan menyobek kertas tidak ada kerjaan seperti ini.
"Kazara?"
Aku menoleh ke belakang.
"Kertas? Jangan buang-buang kertas, kamu tahu produksi kertas di sini itu sedikit. Bagaimana buat belajar nanti?" Ibu berjalan mendekat, kemudian membantuku untuk mengumpulkan kertas-kertas itu. "Cepat mandi. Hari ini persembahan, jangan sampai telat. Dan, jangan menolak jika hanya makan ubi untuk pagi ini, karena semua daging, susu, dan jagung dijadikan persembahan."
Aku menghela napas. "Jangan dulu menyalahkan aku, Ibu. Aku saja tidak tahu siapa yang melakukan ini."
"Kalau kamu tidak tahu, kenapa kamu datang ke sini?"
Ini juga salah satu hal membingungkan dari hal membingungkan yang lain. Aku sering berjalan tanpa sadar hingga tiba di suatu tempat. Aku tidak tahu kenapa aku menuju ke sana, untuk apa. Aku sering berjalan dengan tatapan kosong, Ayah memercayainya karena beliau melihat dengan langsung. Kadang Ayah juga memergoki diriku sedang berbicara dengan Yuka, seperti orang gila.
Apa perlu aku beralasan? Apakah Ibu akan percaya?
"Kebetulan lewat saja, lalu lihat banyak kertas berserakan. Jadi aku bersihkan."
Ibu menghela napas. "Seperti apa yang kamu tahu, Ra, tahun ini kita masih dibiarkan hidup oleh penyihir itu. Bisakah kita menjalaninya dengan baik? Hak istimewa ini tidak didapatkan oleh orang banyak. Jadi, berhentilah berbicara omong kosong dan cepat pergi mandi."
Aku ikut menghela napas. "Baiklah," kataku, yang kemudian keluar dari ruang tengah meninggalkan Ibu untuk pergi mandi.
Jika dipikir-pikir, dunia ini memang aneh. Ada banyak hal yang tidak dapat dimengerti bahkan dicerna oleh pikiran, walau dengan belajar sekalipun. Seperti yang terjadi di Pulau Glomera ini misalnya, pulau tempat aku tinggal. Pulau ini cukup besar, dikelilingi oleh lautan yang tidak diketahui seberapa dalam itu. Pulau yang suram, gelap, berkabut, banyak pohon-pohon tumbuh menjulang tinggi. Meski di laut pastinya terdapat banyak ikan, kami dilarang untuk mengambil dan mengolahnya untuk dimakan. Tidak ada perahu-perahu yang berlayar, tidak ada nelayan, tidak ada turis yang datang-pergi.
Kami seperti terjebak.
Kebanyakan di sini bekerja sebagai tani. Bukan tani sawah, tapi petani yang mengurusi pohon di hutan. Pohon yang didirikan oleh penyihir untuk menjadi sumber makan kami sehari-harinya. Pohon Ailee, buahnya manis dan enak. Namun, tetap saja jika dimakan setiap hari akan bosan. Kemudian rusa dan babi, yang menjadi daging untuk kami makan. Selain itu, kami tidak diperbolehkan untuk membunuh hewan lain.
Peraturan ini sudah lama berdiri. Semenjak salah satu penyihir jatuh cinta dengan raja, mereka menikah, kemudian selang beberapa tahun, raja tiba-tiba menghilang dengan penghuni kerajaan yang lain. Tersisa penyihir yang menjadi ratu di sini sedang murka, kemudian dengan sihirnya melingkupi pulau Glomera oleh kegelapan. Kami sebagai penduduk kehilangan cahaya, mata pencaharian, bahkan kebahagiaan.
Dari tahun ke tahun, muncul peraturan baru. Perdagangan antar pulau diberhentikan, kami diberi aturan untuk tidak keluar pulau. Tidak boleh mencari ikan, tidak boleh ada perahu-perahu di dekat dermaga. Tidak boleh memakan daging sapi, ayam, daging hewan lain selain rusa dan babi. Dilarang untuk bersekolah dan bermain. Bahkan ada hari di mana setiap bulan purnama tiba, festival yang disebut Hari Kematian diadakan. Hari di mana saat para ibu yang mengandung diberikan simbol berupa kutukan. Kutukan tersebut adalah waktu untuk ibu dan anaknya hidup. Sungguh, ini peraturan yang konyol. Tapi kami tidak dapat membantah. Jika kami membantah, para anak-anak dan bayi akan dijadikan tumbal untuk makanan singa.
Aku melirik ke luar jendela, kamar mandi umum masih jauh di bawah sana, sedangkan persembahan akan dimulai pukul dua belas siang. Lantas, aku mengambil tas berisi baju ganti dan sepotong ubi rebus yang dingin, kemudian berjalan keluar rumah untuk pergi ke kamar mandi umum.
Pulau Glomera dibagi menjadi empat tingkat. Tingkat teratas untuk para bangsawan Duke, tingkat ketiga untuk Marquis, tingkat kedua untuk Baron, dan tingkat terbawah untuk rakyat biasa. Lalu kerajaan? Kerajaan terpisah dari pulau. Untuk sampai ke kerajaan kami harus menaiki perahu. Dulu, sih, masih ada jembatan. Tapi penyihir itu merobohkan jembatan tersebut, alhasil kami tidak dapat lewat untuk pergi ke sana.
Rumahku berada di tingkatan paling bawah. Keluargaku hanyalah rakyat biasa yang tidak memiliki takhta. Karenanya, mau kami memiliki semangat juang yang tinggi untuk membebaskan pulau Glomera dari kutukan dan mengajak orang-orang, mereka hanya akan menganggap itu sebagai racauan. Karena menurut para bangsawan, rakyat biasa itu tidak dapat dipercaya.
Lagi pula, harta bukanlah segalanya. Toh, sekarang mereka dan kami miskin bersama.
Aku melompat enam anak tangga sekaligus dan berhasil membuat gema saking hening dan sepinya pulau Glomera. Kemudian, aku melirik kanan dan kiri, tidak ada orang. Tentu saja, pulau Glomera sekarang bukanlah pulau Glomera yang dulu; ramai, banyak orang, banyak pedagang, banyak pelukis dan penyanyi, suara musik, orang-orang berbincang, anak-anak berlarian seraya tertawa.