Apa kamu punya mimpi?
Sesuatu yang membuatmu begitu menginginkannya melebihi apapun. Hal kecil yang memberikanmu alasan untuk terus menatap ke depan.
Dan tahu tidak apa yang lebih baik dari tercapainya sebuah mimpi?
Yaitu kau meraihnya bersama sahabat-sahabat yang kau sayangi ....
Daniella Maharani Le Blanc'
---
Semua yang kuperlukan sudah kusiapkan di tasku dari semalam. Ku tutup laptopku dan memasukannya ke dalam tas satchelku. Kukenakan tasku lalu melongok ke depan cermin. Dengan seksama memperhatikan rambut medium pixieku, memastikannya tidak berantakan. Setelah dirasa semua siap aku segera menuju pintu keluar. Kubuka pintu kayu Mahoni berwarna cokelat tua dan kusambut cahaya mentari pagi yang tersenyum padaku.
Untungnya, Regi adalah ayah yang fleksible, ia tidak pernah memaksakan pendapatnya. Sisi inilah yang kusuka dari pendidikan ala baratnya, dan aku cukup beruntung mendapatkan culture baik dari timur maupun barat.
Aku tinggal di sebuah apartemen sewaan yang berjarak hanya 25 menit jalan kaki dari kampusku. Cukup bagus karena tidak perlu repot-repot naik kendaraan umum ataupun harus menyetir sendiri.
Kukeluarkan earphoneku lalu memasangnya ke telingaku, sinyalnya terhubung ke iphone ku. Sepertinya sudah jadi kebiasaan semenjak berkuliah disini, dimana acara berjalan kaki sambil mendengarkan musik adalah rekreasi kecil bagiku.
Lagu yang sering kudengarkan ketika berangkat menuju kampus adalah Driver's highnya L'arc n Ciel, sangat tidak aku sekali kan?? meski nama bandnya berbahasa Perancis. Tapi jangan salah, lagu ini seakan memberi aura semangat ketika didengarkan dan lagi, lagu ini adalah lagu kesukaan Adrian, semoga engkau tenang di sisi-Nya.
Jalanan menuju kampusku banyak didominasi pemandangan kota kecil, dengan berbagai pertokoan di samping-sampingnya. Aku lumayan suka disini karena orang-orangnya menghargai privasi. Dan akhirnya tibalah aku di kelas yang harus kuhadiri.
1 jam kemudian, kudengar suara yang amat familiar.
"Can you believe that?!! we never defeat her," ujar suara dari wanita yang kini duduk disampingku.
"D for Daniella, D for diligent," sebuah suara lain di sisi satunya.
"Crazily diligent ...," tambahnya.
"Just a wall guys, just a wall," jawabku menyahut perkataan mereka.
"For almost six months? can't be, you unbeatable Daniella," ujar si gadis pertama, kuangkat bahu menjawabnya.
Keduanya adalah gengku selama berkuliah, kami bertemu semenjak semester tiga dan bergulir begitu saja hingga kami berteman akrab.
Belinda Van Camlo, warga lokal yang sama sama mengambil Bachelor degree. Belinda berambut pirang dengan wajah bulat dengan kulit putih cerah. Ia adalah yang tertinggi diantara kami dan orangnya disiplin.
Satunya lagi adalah Nedhira Netenaru, sama sepertiku, ia juga orang asing disini, ia berasal dari Malkangiri, India. Nedhira berkata bahwa ia adalah wanita pertama di desanya yang berkuliah.
Perkuliahan pun dimulai ketika seorang dosen berkepala plontos dengan pakaian formal tengah berdiri di depan.
---
"So this will be in my place tonight?" tanyaku pada keduanya.
"Yep, I wanna taste your cook," ujar Belinda terus terang.
Kami tengah membereskan barang-barang ke dalam tas setelah kelas berakhir. Selanjutnya aku akan berada di kelas yang berbeda dengan mereka.
"And there something in Matrix I need to discuss with you guys," Nedhira menyelesaikan beberes tasnya ketika kami mulai menuruni tangga di podium kelas.
Kami berjalan menuju pintu keluar ketika si dosen berkepala plontos memanggilku.
"Hey Daniella, a moment!" ujarnya meminta waktuku.
"Yes sir." Aku mendekat.
"I think, we have something to discuss about your scholarship, can you come to my room this noon," ucapnya memintaku datang ke ruangannya siang ini.
"Can't it be discussed here now sir? I'am free for 30 minutes later actually," jawabku.
"Better in my room please, at noon," ia bersikukuh.
"Okey," jawabku singkat.
Kami bertigapun lanjut berjalan.