Life Of Maharani (2)

Wachyudi
Chapter #4

As tender as Mirriam

Sudah sekitar dua bulan aku menjadi tutor belajar untuk Miriam. Ternyata apartementnya tidak jauh dari milikku. Aku datang seminggu sekali atau dua kali seminggu, bergantung pada jadwal kosongnya. Namun aku bisa sampai seharian disini jika ia sedang di apartemennya. Dia senang ditemani karena dia tinggal sendirian di apartemen ini. Paling hanya ada asisten rumah tangga yang disewa sesekali untuk bersih-bersih. Dan mungkin alasan lainnya karena aku bisa memasak dan ia amat missing soal makanan rumah. Dari yang ia ceritakan, kira-kira begini tentangnya.

Neneknya adalah seorang ART di rumah seorang meneer Belanda saat jaman kolonial. Neneknya yang masih remaja lalu dihamili oleh tuannya dan kemudian dibuang begitu saja. Neneknya yang sedang hamil besar dipungut oleh seorang saudagar bernama Horgent Van Der Zulla. Lalu lahirlah ibu Miriam yang kemudian diangkat anak oleh Horgent dan dibaptis. Ibunya diberi nama Arabella Van Der Zulla. Arabella lalu menikah dengan seorang saudagar keturunan Cina yang sudah menjadi warga Netherland dan pindah ke sini. Lalu baru lahirlah Miriam, kini kedua orang tuanya sudah meninggal, pun tuan Horgent. Miriam hidup sebatang kara, dan berjuang menghidupi dirinya sendiri. Kisah hidupnya ternyata tidak mudah ya. Namun berkat kegigihan dan perjuangannya kini Mirriam bisa hidup mapan, bahkan menjadi seorang penyanyi terkenal.

"Hey dear, you were crying? tanyanya sambil memperhatikan wajahku. Aku menunduk sedikit malu.

Rupanya Mirriam memperhatikan kantung mataku karena tadi sore aku menangis kala membaca surat dari Alm. Adrian.

"No it's just ... I'am ok ..." jawabku berusaha menyembunyikan hal itu.

"Come on here ..." Ia menarik tanganku dan mengajakku untuk duduk di sofanya.

"You can tell me, here right now, there is no Mirriam BI, only Mirriam ... aku ... mau ... bantu kamu," ujarnya.

Pilihanku tidak salah memilih Miriam sebagai BIASku. Selama aku mengenalnya di sini ia memang wanita yang baik. Meski ia adalah seorang super star, tapi ia mau memberi perhatian padaku yang cuma kenalannya.

"Kemarin aku baru saja mendapat surat dari mantanku. Dua tahun yang lalu ia memutuskanku padahal sejauh yang kutahu hubungan kami baik-baik saja. Dan kemarin adikku mengirimkan surat yang ditulisnya untukku." Aku perlahan-lahan bercerita.

"Okey, so ... lalu gimana?" Mirriam mendengarkan.

"Isi suratnya yang membuatku bersedih. Rupanya ia masih mencintaiku, dan pada kenyataannya ia tidak pernah ingin memutuskanku. Alasan ia melakukannya adalah karena derajat kami yang jauh berbeda. Ia adalah seorang pemuda miskin dari keluarga biasa. Teman-temankupun menolak hubungan kami," kulanjutkan bercerita.

"Oke I'am now digging the story, lalu?" Mirriam masih mendengarkan dengan seksama.

"Dan surat ini datang setelah sekian lamanya kami putus. Surat yang berisi curahan hatinya bahwa ia masih mencintaiku dan sebenarnya tidak ingin berpisah denganku." mataku jadi berkaca-kaca ketika mengatakan ini.

"Owh okey ... where is he now, kenapa tidak kembali saja dear?" Mirriam akhirnya mengajukan pertanyaan yang akan paling terasa sakit untukku menjawabnya.

"He passed away, tidak lama setelah kami putus, tanpa sempat bertemu sebelumnya. Tanpa sempat kutahu isi hatinya," kujawab sambil mengusap air mata yang mengalir.

"Oh my dear... sorry..." Mirriam menutup mulutnya.

Sadar bahwa pertanyaannya amat menyakiti hatiku, ia lalu membuka tangannya, menawarkan sebuah pelukan yang langsung ku terima. Aku memeluknya erat, menangis dalam pelukannya. Ia mengelus-elus kepalaku seakan kami adalah kakak beradik. Oh Mirriam Van Der Zulla aku tidak pernah menyesal mengagumi sosokmu.

"Aku ... tidak mengalami yang kamu alami memang, hanya saja, kamu boleh bersedih ... jika memang hatimu sakit, namun kamu berhak akan hidup yang lebih baik selanjutnya," ia sepertinya berusaha memberi nasihat untuk move on.

"Aku sebenarnya sudah move on, tidak melupakannya namun hatiku sudah mengikhlaskannya. Hanya kedatangan surat itu membuatku mengingat lagi semua kenangan saat ia masih ada," ujarku kembali mengusap air mataku yang mulai mereda.

"Good, itu artinya kamu masih punya hati." Ia kembali memelukku erat.

"Dia pasti amat spesial bagimu?" tambahnya sambil melemparkan senyum menenangkan.

"He's my first love," jawabku.

"Mirriam kamu baik sekali, maksudku kamu itu seorang bintang, tapi kamu bisa amat baik padaku," ucapku menatap wajahnya.

Ia tersenyum.

Lihat selengkapnya