Sudah lebih dari tiga bulan aku mengenalnya. Tiga bulan ini juga hidupku terasa berbeda, lebih terberkati. Daniella Maharani, gadis yang kuajak berkenalan dan ternyata kami bisa semakin akrab. Bahkan mungkin, tanpa ia ketahui, jauh di lubuk hatiku, ada rasa suka yang semakin hari semakin tumbuh. Sejujurnya aku tidak berani mengungkapkannya, perbedaan kami sejauh matahari dan pluto.
Namun, pertemuan dengannya yang semakin intens, interaksi dengannya pula yang semakin akrab, dan kurasa, mungkin kami semakin dekat. Kupandangi wajahnya kala dengan serius ia menjelaskan materi integral trigonometri padaku yang justru malah terhisap pesonanya. Aku selalu suka rambut berwarna cokelat walnutnya yang panjang sepunggung. Karena jika sebagian rambutnya jatuh ke depan, ia akan menyibaknya lagi ke belakang. Pemandangan yang selalu terlihat indah bagiku, yang membuatku merasa beruntung dan terus bersyukur bisa mengenalnya.
"Niel ... aku suka sama kamu." sejurus kalimat keluar dari mulutku, seakan bukan aku yang mengatakannya, bagaimana ini? rupanya hatiku mendahului logikaku.
Tersadar akan kalimat yang baru saja ia dengar, Daniella menghentikan penjelasannya dan memasang wajah terkejut memandangku yang sudah sedang menahan rasa malu.
"Sorry ... tadi apa?" pertanyaan yang ia ajukan terdengar seperti hanya sebuah penegasan akan keraguannya atas apa yang baru saja ia dengar.
"Aku suka sama kamu Niel, kamu mau kan jadi pacarku?" ucapku, seakan kini hatiku membelenggu otak dan mulutku.
Daniella terdiam, wajar kalau ia syok, wajar jika hasilnya ia menolakku dan lalu menjauhiku. Ah sudahlah pikirku, kalaupun akhirnya ia menolakku maka akan kuterima. Paling tidak aku sudah cukup jantan menyatakan perasaanku padanya.
Masih dalam diam, Daniella menunduk seraya memiringkan sedikit kepalanya. Lalu matanya yang indah menatapku begitu dalam.
"Eum ... hmm." ia mengangguk lalu tersenyum manis padaku.
"Ya gak apa-apa sih, wajar kalo kamu menolak ..." pungkasku.
Namun, pikiranku membeku, tiba-tiba inputan yang masuk terlalu berat untuk kuproses. Tunggu, ini benar kan? bukankah itu artinya ia menjawab 'iya', eum hmm adalah ciri khas bagaimana Daniella menjawab 'iya'. ini bukan fatamorgana karena terlalu antusias kan???
"Eh kamu beneran mau jadi pacarku?" kembali kuyakinkan bahwa semua ini nyata.
"Iya ... aku mau jadi pacarmu," jawab suara lembut itu.
Darahku langsung naik dengan cepat, tidak bisa kubendung rasa senang di hati ini. Aku tidak percaya, gadis yang kini kusukai menerimaku.
"Yes yes yes ... omg, omg ... gila aku seneng banget ... yes." tingkahku sudah seperti orang kesetanan, aku bahkan terjatuh dari kursiku.
Daniella tertawa geli melihatku yang begitu kegirangan. Bisa kulihat tawanya meski ia berusaha menutupi dengan tangannya. Kugenggam tangannya yang ternyata terasa amat halus dan lembut dengan jari-jarinya yang lentik. Maka sore itu atas restu Sang Maha Pengasih ia jadi pacarku.
---
"Dipikir-pikir tadi nembaknya simple banget ya," ujarnya sambil membereskan buku setelah kami selesai belajar bareng.
Sepertinya bukan Daniella kalau belajar barengnya selesai cuma karena ditembak cowok, benar-benar gadis teladan bangsa.
"Sebenarnya, tadinya aku berencana mau nembak di depan gerbang sekolah dibantu sama anak-anak 'Cozy' biar dilihat banyak orang juga, cuma tadi, entah kayak udah enggak ketahan," jawabku jujur.
"Hahaha ..." Daniella tertawa geli sambil menutupi mulutnya dengan tangan.
"Atau jangan-jangan kamu udah greget karena mumpung enggak ada Angrea?" godanya melirik padaku.
Aku terdiam, dipikir-pikir benar juga hari ini Angrea izin tidak masuk sekolah karena sakit, sehingga belajar bareng kami hari ini hanya ada aku dan Daniella.
"Tapi justru kayaknya lebih baik begini," ujar Daniella sambil mengunci pintu ruangan sebelum kami beranjak pulang.
"Maksudnya?" tanyaku berharap kalimat yang lebih jelas.
"Kalau tadi kamu nembak di depan orang banyak, apa lagi di depan gerbang sekolah yang pastinya dilihat banyak murid atau guru, kayaknya bakal aku tolak." Daniella tersenyum lebar, entah dia bermaksud bercanda untuk menggodaku atau memang serius.
"Serius, ya ampun, untung aja," jawabku polos. Dan baru kusadari ia mengganti kata 'saya' jadi 'aku' yang mengisyaratkan bahwa kami semakin dekat.
"Kamu tahu kan posisiku, aku ogah aja dijadikan bahan gossip dan bisa jadi ada orang yang tidak suka sama aku, Pink Velvet, atau keluargaku lalu memanfaatkan hubungan kita tuuuh," jelasnya, dan bisa kulihat kekhawatiran di wajahnya.
"Dan semoga kamu enggak keberatan kalau hubungan kita ini cuma boleh diketahui kita berdua dan anak-anak Velvet saja." wajahnya tampak memohon.
Berat juga rupanya menjadi pacar orang penting. Ya memang aku sedikit banyak paham maksud perkataannya. Meski baru sekitar tiga bulan aku mengenalnya tapi menjadi seorang member girlband terkenal , pemilik franchise, dan anak sulung dari keluarga besar tentu bukan hal mudah. Ah. Entah kenapa memikirkannya membuatku merasa ciut, apa bijak ya aku yang 'bukan siapa-siapa ini' jadi pacarnya? tanyaku dalam hati.
"Oke enggak apa-apa, aku cukup puas koq," jawabku tulus seraya mengangguk.
"Makasih." ia mengepalkan tinjunya dan memukulkannya lembut ke tangan kananku.
Aku benar-benar berharap itu adalah sebuah pelukan agar hatiku lebih tegar namun memang hubungan kami belum sejauh itu. Kamipun berpisah di parkiran. Daniella seperti biasa dijemput Erik, supir sekaligus bodyguard pribadinya. Dan aku akan menuju pinggir jalan menunggu kendaraan umum yang lewat.