Life of Maharani

Wachyudi
Chapter #8

First date

Pagi itu aku duduk menunggu di salah satu bangku di Taman Sumber, mengenakan pakaian terbaikku, mungkin termahal yang aku punya. Hari ini adalah pertama kalinya kami kencan di luar berdua. Biasanya kencan ala kami adalah semacam aku menemani kunjungan kerja Daniella ke outlet-outlet Le Viral.idnya, menemaninya latihan dance, belajar bersama dan menjadi pacar rahasianya diantara barisan penonton saat Pink Velvet tampil agar ia bisa senang menyadari aku ada disana menontonnya tampil. Itupun dengan Erik yang menyupiri kami. Entah yang seperti itu menyenangkan atau tidak baginya, untukku selama ia senang, aku akan ikut saja.

Dari jauh kulihat mobil Range Rover hitam yang amat kukenal, yang rutin disupiri Erik. Dan benar saja mobil tersebut berhenti di halte tidak jauh dari tempat aku duduk lalu kemudian sesosok gadis cantik turun darinya. Sebenarnya ia mengenakan masker dan memakai bucket hat jadi wajahnya tidak terlihat sepenuhnya. Tapi bahkan jika tembok besar Cina menutupi wajahnya, siapa pun tahu kalau ia amat cantik.

"Maaf baru sampai, ini bener kan jam 10? tadi aku ke HQ Le Viral.id yang di Plered dulu sih," ujarnya agak khawatir terlambat, masih sempat menengok sebuah jam berwarna ungu glossy di tangan kanannya.

Sebenarnya hari ini ia hanya mengenakan setelan yang paling sederhana yang pernah kulihat. T-shirt Chanel berwarna putih yang sepertinya barang ori, dan jogger hitam senada dengan topinya. Sebuah tas jinjing berwarna putih dengan corak mahluk-mahluk imut yang tidak kukenali menjadi item menarik lainnya.

"Kamu tuh meski dandan simple tapi tetep cantik banget ya Niel," ujarku jujur pada kenyataannya.

"Uuuuuh gombal." Daniella tersipu sambil memukul dadaku pelan meski sejujurnya kuucapkan pujian itu murni sebagai kekaguman dan bukan semacam kata-kata gombal semata.

Kami kemudian duduk di salah satu kursi taman, menikmati jus yang selalu rutin dibawanya setiap kali bertemu, maklum dia dari "planet" bernama healthy food.

"Hari ini mau kemana?" tanyaku seraya memandang wajahnya, dan masih saja dibuat tidak percaya bisa memiliki pacar sesempurna dirinya.

"Kemana ya? jalan-jalan di sini aja enak, aku enggak mau ke kafe," ucapnya.

"Emm ... emang kenapa tuh Niel?" tanyaku penasaran tapi sudah memperkirakan jawabannya.

"Bosen hehe, masa abis rapat di resto ngedate nya di kafe juga." jawaban Daniella sesuai perkiraanku, ia menyipitkan mata yang membuatku tahu kalau ia sedang tersenyum lebar.

"Wah padahal hari ini mau banget traktir kamu makan loh," kataku menawarkannya lagi.

"Wah asik, mau dong Adrian yang traktir," ujarnya mengangguk.

Aku selalu heran mengapa Daniella suka sekali bila akan ditraktir olehku. Gini, logikanya kalau sekarang aku traktir bakso, dia tuh bisa beli sampe gerobak-gerobaknya. Mungkin itu ya, karena itu dari pacar jadi terasa istimewa meski cuma hal kecil.

"So, mau makan apa? ... ma Belle," kucoba mengucapkan bahasa Perancis yang baru kupahami artinya dari internet, namun terdengar lokal sekali.

Daniella nutup mulutnya yang sudah tertutup masker, berusaha menahan tawa, ia pasti geli mendengarku mengucapkannya.

"Udah ketawa aja, enggak usah ditahan, emang enggak bakat aku," ujarku yang sudah tahu alasan tawanya.

"Haha ... maaf Adrian, tapi senang koq kamu manggil gitu." di balik masker itu bisa kubayangkan wajah tertawanya, tampak puas mengerjaiku.

"Emang salah ya tadi ngucapinnya?" tanyaku penasaran.

Ia masih berusaha menahan tawa sambil menggelengkan kepalanya, namun bukan bermaksud bilang tidak.

"Haha ... maaf, yaaa bukan salah sih ... harusnya Adrian mengucapkannya mah bell, but it's ok ... aku apresiasi koq hehe," ujarnya masih sempat menjelaskan.

"Yaudah jadi mau makan apa Niel?" aku kembali menggunakan panggilan khususku padanya. Ya panggilan 'Niel' hanya milikku seorang untuk Daniella, teman-teman maupun kenalannya hanya memanggil dengan sebutan 'Ella'.

"Euum ... mau makan rujak Gameeelll," jawabnya dengan manja sambil kedua tangannya menarik bajuku, membuatnya tampak sangat imut.

Ya Allah, kill me please, aku bisa mati karena keseringan deg-degan diserang pesonanya. Gadis ini seakan bidadari yang sedang dipinjamkan oleh-Mu padaku yang hanya seonggok debu.

"Rujak Gamel ya, unik juga kamu tahu jajanan rakyat Niel? suka pedes?" tanyaku seraya memalingkan wajah, malu jika ia melihat wajahku memerah.

"Itu lumayan menyehatkan koq, aku masih bisa makan, dan ... suka," jawabnya lalu akhirnya diputuskan kami akan membeli rujak Gamel.

---

Ia tampak berkeringat, namun justru mengambil tisu dari tasnya untuk diusapkan padaku. Mungkin karena ini pertama kalinya ia naik angkot yang panas tanpa AC. Bisa kulihat dahi, leher, dan bawah lehernya berkeringat memberontak pada suhu panas ini.

Lihat selengkapnya