Life of Maharani

Wachyudi
Chapter #10

Visiting

Jalan lenggang saja, lalu lintas hari ini amat bersahabat. Padahal biasanya hari minggu adalah hari yang ramai tapi seakan semesta ingin perjalanan kami berdua lancar-lancar saja.

"Ini padahal enggak apa-apa loh kalo enggak dianterin juga," ujarku malu-malu pada pacar baruku itu.

"Ya enggak boleh dong, masa enggak bertanggung jawab. Lagian itung-itung Ella jalan-jalan, mind healing gitu," jawabnya sambil tersenyum manis padaku.

Oh Tuhan, rasanya inginku bersujud selama 1000 tahun pada-Mu, engkau telah mengaruniaiku dengan pacar yang luar biasa ini. Setelah empat bulan kami berpacaran aku semakin sadar ia adalah wanita yang luar biasa, sempurna tanpa celah.

"Yaudah kalo kamu enggak apa-apa," jawabku singkat, entah harus bilang apa lagi.

Sebenarnya jiwa lelakiku agak tertekan diberi kebaikan seperti ini. Setelah dibantu hampir 80% soal pembuatan vidio musik untuk keperluan kompetisi band, sekarang bahkan ia yang menyetir mengantarkanku ke rumah. Apa boleh buat, jangankan mobil, satu-satunya motor yang keluargaku miliki saja dipakai bersamaan dengan kakakku.

"Btw nama Daniella itu artinya apa Niel?" tanyaku sekedar mengisi waktu kami di perjalanan.

"Owh itu gabungan nama grand mere' sama grand pere', nenek dan kakekku dari pihak Papa. Kakekku namanya Danny kalau nenek Adelle, jadinya Danielle, cuma karena kurang cocok kalo Danielle Maharani, jadinya diganti huruf a, so jadi Daniella Maharani deh. Kalo Maharani tuh marga Amaku. Ya 50:50 lah ngasih namanya," jelasnya panjang lebar yang membuatku paham asal namanya.

"Owh ... eh kamu tuh punya adik kan? siapa tuh namanya? koq jarang lihat kalian bareng ya?" aku memang heran soal ini.

"Emang kami enggak deket aja, Marvellina Maharani," jawabnya.

"Kalo Marvellina sih namanya dari apa? kayak komik ya hehe," kembali ku bertanya.

"Papa nama lengkapnya Reginald Marvello Le Blanc', kamu kan udah liat di nisan nama Ama ku, Adellina Maharani, ketebak kan?" jawabnya tanpa menarik kesimpulan.

"Owh okey paham aku sekarang, simple ya sebenarnya." aku mengangguk-angguk.

"Eum hmm ..." balasnya begitu khas.

"Eh ini kita udah sampai daerah Ciperna, kemana nih?" tanyanya kala kami sudah tiba di sekitaran Wanayasa.

"Owh lurus terus belok kanan ke arah lapangan udara penggung." dan lalu kuberikan arahan pada Daniella menyusuri jalan ke rumahku.

Kamipun sampai sekitar 25 menit kemudian.

---

"Ya di sini aja parkirnya, aman koq," ujarku sambil menunjuk sebidang lahan yang agak luas.

"Mau mampir dulu gak?" tanyaku basa-basi saat melepas sabuk pengaman yang wajib dipakai kata Daniella.

"Eum ... boleh," jawabannya membuatku agak terkejut.

Sebenarnya aku hanya murni berbasa-basi ketika menawarkannya untuk mampir. Benar-benar tidak menyangka ia akan menerimanya, dan sekarang keringatku yang bercucuran. Mengajak Daniella melihat rumah kumuhku, yang benar saja?!

"Rumahku kecil, maaf ya kalau nanti berantakan, ya lumayan lah kalo buat tempat tinggal aja," ujarku dengan basa-basi yang lain.

"Eum hmmm ... enggak apa-apa." Daniella hanya mengangguk dan lalu entah kenapa menunduk dengan wajah agak tersipu malu.

Oh may God, baru sadar aku, kalimatku memang agak ambigu antara basa-basi pada tamu atau jadi semacam pernyataan 'kalau-kalau nanti kita tinggal bersama'. Wajahku ikut memerah dan sepertinya ia bisa melihatnya meski kucoba menutupinya.

---

"Assalamu'alaikum ..." ujarku sambil membuka pintu.

"Yuk ke dalem aja, sepatunya tapi bawa masuk, sering ilang kalo ditinggal di luar," ucapku.

"Owh oke," jawabnya seraya melepas sepatu mewahnya.

Baru kali ini kulihat kaki seputih dan semulus milik Daniella. Cat kuku berwarna violet tampak kontras dengan tone kulitnya. Dan beragam ekspresi dari wajah cantiknya menambah pesona itu.

"Dari mana aja Rian? Mamah teleponin enggak diangkat-angkat." sebuah suara terdengar dari arah dapur.

Lihat selengkapnya